Senin, 02 Januari 2017

Urgensi Etika dalam Bisnis dan Profesi Akuntan



Urgensi Etika dalam Bisnis dan Profesi Akuntan
Tinjauan Kritis atas Kasus Enron dan Arthur Andersen

Oleh Kasdin Sihotang
Dosen Etika Profesi Akuntan di FE dan Staf PPE Unika Atma Jaya, Jakarta


Abstrak:

Bisnis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup manusia. Sebagai bagian dari kehidupan manusia, bisnis harus dijalankan secara etis. Ini berarti, bisnis membutuhkan etika. Jika seorang pelaku bisnis mengabaikan etika dalam kegiatannya, dia melakukan tindakan bunuh diri. Pengabaian ini akan menyebabkan kebangkrutan. Fakta inilah yang terlihat  dalam kebangkrutan Enron dan Arthur Andersen. Kehancuran kedua perusahaan  ini telah membangkitkan kesadaran dan ekspektasi publik baik bagi para pelaku bisnis untuk menerapkan tata kelola yang sehat berdasarkan prinsip akuntabilitas, transparansi, fairness dan tanggung jawab maupun bagi akuntan untuk menerapkan etika profesi yang meliputi integritas, independensi, objektivitas dan kejujuran serta kepentingan publik. Kehancuran itu juga mendorong agar etika profesi akuntan menjadi bagian integral dari pendidikan untuk membangkitkan kesadaran calon akuntan akan apa yang baik dan apa yang buruk dalam menjalankan pekerjaannya kelak.

Kata-kata kunci: tata kelola, akuntabilitas, transparansi, fairness, tanggung jawab, keadilan, otonomi, independensi, integritas, etika, etika profesi, profesi akuntan, kepentingan publik dan profesi, serta pendidikan.

Abstract:
Business is related to human life. As part of human life, it must be done ethically. It means,  business needs ethics. If businessman ignores ethics from his  activities, he will suicide.  His immoral action  will cause  a bankcruptcy.  The bankruptcy of Enron and Arthur Andersen are the examples of corporate badness. It raised people’s  awareness and expectation up both to businessman to apply the principles of the good corporate governance, that are accountability, transparency, fairness and responsibility and to accountants  to practice accounting ethics, including integrity, independence, objectivity, honesty and public interest as well. It was suggested  that study on the ethics of accounting profession is an integrated part of education to rise accounting student’s awareness of rightness and badness in  doing  job.    

Key Words: Governance, accountability, transparency, fairness, responsibility, justice, otonomy, independency, integrity, ethics, professional ethics, the ethics of accounting profession, public interest, profession and education.


Pengantar
Kehancuran sebuah bisnis tidak saja disebabkan oleh kebangkrutan ekonomi, melainkan juga oleh kebangkrutan moralitas dalam mengelolanya. Bahkan kebangkuran moral ini merupakan sumber yang paling membahayakan bagi kelangsungan bisnis. Penegasan ini bukan ilusi, melainkan fakta.  Banyak perusahaan yang bisa dijadikan sebagai contoh. Kebangkuran Enron dan Arthur Andersen yang terjadi di Amerika Serikat[1], yang menjadi fokus sorotan dalam tulisan ini, adalah contoh yang jelas untuk itu. 
Peristiwa tiga belas tahun lalu tersebut merupakan  sesuatu  yang sangat mengejutkan bagi dunia bisnis, mengingat Enron masuk dalam bilangan perusahaan terbesar ke-7 di Amerika Serikat dengan tenaga kerja 25000 orang maupun Arthur Andersen sebagai lembaga akuntan ternama[2], namun memberi pelajaran berharga tentang dampak negatif dari pengelolaan perusahaan yang tidak sehat dan pengabaian etika dalam menjalankan profesi, khususnya profesi akuntan.  
Berkaitan dengan kasus di atas, sejumlah pertanyaan mendasar berikut relevan diajukan: Apa yang menjadi sebab dari kebangkrutan Enron dan Arthur Andersen? Dari segi etika, khususnya etika profesi akuntan, apa yang bisa digali dari peristiwa tersebut? Dan pelajaran apa yang bisa diambil dari kasus tersebut untuk mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian? Tiga pertanyaan inilah yang menjadi titik berangkat pembahasan dalam  artikel ini.
Artikel ini dibagi dalam empat butir. Butir pertama akan menganalisa akar dari kebangkrutan perusahaan Enron, yang berfokus pada dua hal, yakni bagaimana penerapan prinsip-prinsip tata kelola seperti akuntabilitas, transparansi, fairness serta tanggung jawab dalam mengurus perusahaan dan bagaimana nilai-nilai etis profesi, khususnya etika profesi akuntan diterapkan di dalamnya. Butir kedua akan berisikan pembahasan  tentang berbagai ekspektasi etis publik sebagai implikasi peristiwa tersebut dalam pengelolaan perusahaan dan kualitas profesi akuntan.  Butir ketiga berbicara tentang upaya preventif intensif melalui perhatian pada pendidikan etika profesi sejak dini. Butir keempat merupakan kesimpulan.

1.                  Dua Akar Kehancuran
Kehancuran perusahaan Enron merupakan pukulan berat dalam bisnis. Dan peristiwa buruk tersebut tidak pernah diduga oleh banyak orang, khususnya pelaku bisnis  dan pengamat ekonomi, mengingat perkembangan perusahaan Enron begitu pesat dalam kurun waktu tahun 90-an, bahkan sempat tercatat sebagai perusahaan yang memiliki reputasi sangat baik di tingkat dunia[3].   
Secara umum, ada dua akar hancurnya Enron dan Arthur Anderson. Kedua akar itu adalah tidak berjalannya tata kelola dan minimnya kepedulian pada etika dalam menjalankan profesi akuntan. Faktor pertama sangat terkait dengan Enron, dan faktor kedua sangat berhubungan dengan Arthur Andersen.[4]  
 1.1 Pengelolaan yang salah
Sumber pertama kehancuran Enron adalah pengelolaan perusahaan yang tidak sehat[5]. Dalam bisnis modern kelanggengan sebuah perusahaan sangat tergantung pada kualitas pengelolaan yang diterapkan. Pengelolaan sehat merupakan  syarat bagi kelanggengan itu. Demikian sebaliknya[6], kalau pengelolaan yang diterapkan tidak sehat, maka masa depan perusahaan akan terancam. Aktivitasnya pun hanya bertahan dalam waktu yang singkat. Itu berarti, prinsip-prinsip manajemen yang sehat menjadi sebuah keharusan bagi bisnis modern[7]. Dengan alasan ini, maka good corporate governance (GCG) yang berasaskan pada prinsip akuntabilitas, transparansi, fairness, dan tanggung jawab menjadi penentu bagi kelangsungan  perusahaan.[8]
Akan tetapi dalam pengelolaan Enron prinsip-prinsip GCG itu tidak mendapat perhatian. Deviasi terhadap keempat prinsip itu sangat menonjol dalam cara pengelolaan tidak wajar yang dilakukan oleh Enron seperti pelaporan yang tidak tansparan, pengawasan yang tidak melekat, serta penghilangan dokumen laporan keuangan[9].

1.1.1   Nihilnya Akuntabilitas
Terkait dengan akuntabitilitas, menurut Leonard J Brook, mengutip Summary of Findings Power  Report[10], ada lima penyimpangan besar yang dilakukan oleh Enron.  Pertama,  minimnya upaya preventif dewan direksi yang menyebabkan berkembangnya tindakan kelompok karyawan untuk memperkaya diri dengan berbagai cara.[11]  Kedua, adanya upaya menyembunyikan aset dan kewajiban dengan pendirian dan penggunaan kemitraan seperti Chewco, LJMI dan LJM2 yang juga ditangani oleh karyawan Enron sendiri untuk melakukan transaksi yang tidak dapat diatur dengan entitas independen dan dirancang untuk mencapai hasil laporan yang positif dengan mengabaikan pencapaian ekonomi yang jujur, serta aturan-aturan akuntansi di Amerika Serikat. 
Ketiga, terjadinya transaksi yang tidak semestinya dengan jumlah  begitu besar yang implikasinya sangat signifikan dalam  pelaporan keuangan Enron. Hal ini dilakukan untuk  memberi kesan positif terhadap kondisi keuangan Enron.  
Keempat, terjadinya perlakuan yang salah terhadap akuntan. Enron membayar Arthur Andersen dengan begitu mahal untuk mengaudit perusahaan Chewco dan LJMI, yang adalah anak perusahaan Enron, namun fungsi advisorialnya tidak berjalan, karena nasehat Athur Anderson tidak dijadikan sebagai dasar pelaporan keungan, malahan membayar Arthur Andersen dengan tarif yang begitu mahal agar tidak membongkar berbagai kekeliruan Enron. 
Kelima, eliminasi prinsip independensi pemilik perusahaan untuk membuat sebuah investasi ekuitas substantif sekurang-kurangnya 3 persen dari aset special purpose entities (SPE) dan 3 persen sebagai berisiko di seluruh transaksi serta independensi melakukan pengendalian terhadap SPE[12].  

1.1.2  Pengabaian Transparansi
Informasi materi perusahaan yang akurat dan tepat waktu antara lain meliputi situasi keuangan, kinerja perusahaan, manejemen perusahaan serta faktor risiko yang mungkin timbul merupakan kerangka kerja corporate governance. Dengan kata lain, penyebaran informasi secara terbuka, dan objektif termasuk dalam laporan keuangan merupakan bagian dari pengelolaan perusahaan. Inilah hakikat dari transparansi. 
Enron secara jelas mengabaikan hakikat transparansi tersebut, khusunya berkaitan dengan laporan keuangan[13].  Enron berusaha menutupi kondisi keuangan yang buruk dengan menghilangkan dokumen transaksi keuangan secara luas. Penghilangan dokumen itu dilakukan untuk menghindari pertanggungjawaban keuangan yang akuntabel. Yang paling buruk, Dewan Direksi dengan sengaja mengijinkan Enron untuk melakukan kecurangan itu agar para investor dan pemegang saham tidak menarik uangnya dari perusahaan.  Untuk menjaga agar tindakan buruk itu tidak diketahui publik, kebebasan auditor internal perusahaan dibungkam dalam menjalankan fungsi yang sebenarnya. Auditor harus mengikuti kemauan auditee, yang justru sikap ini sangat bertentangan dengan tugas, dan wewenang, serta fungsi seorang auditor.[14]

1.1.3 Minimnya Tanggung Jawab
Kesalahan pengelolaan itu diperparah dengan minusnya tanggung jawab yang diperlihatkan oleh top management perusahaan. Pada hakikatnya, prinsip tanggung jawab memuat dua hal, yakni di satu sisi mengusahakan pengelolaan yang baik dengan mempertimbangkan dampak baik dan dampak buruk seluruh perbuatan yang dilakukan secara matang, di lain sisi berani menanggung reriko dari sebuah tindakan atau keputusan yang dilakukan[15].
Dalam konteks perusahaan, tanggung jawab top management adalah mengembangkan perusahaan secara berkelanjutan dengan menghindari segala hal yang merugikan perusahaan. Dengan kata lain, cost benefit analysis dijadikan oleh top  management  sebagai bahan pertimbangan dalam  pengambil keputusan tentang perusahaan.
Dewan Direksi adalah bagian dari top management. Sesuai dengan tugas utamanya, Dewan Direksi mempunyai kewajiban fidusia, yakni meninjau strategi bisnis perusahaan secara keseluruhan, memilih dan memberikan kompensasi eksekutif senior perusahaan, mengevaluasi eksternal perusahaan dan mengevaluasi laporan keuangan perusahaan serta memantau kinerja perusahaan secara keseluruhan[16]. Dewan Direksi juga  bertanggungjawab untuk mengawasi lini bisnis dan strateginya, termasuk memastikan kualitas pertanggungjawaban laporan keuangan untuk menjamin kepercayaan investor dan pemegang saham. Karena itu penyajian laporan keuangan yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung jawab besar bagi  manajemen perusahaan[17].
Namun dalam pengelolaan, hakikat prinsip tanggung jawab tersebut tidak diindahkan oleh Enron, khususnya Dewan Direksi. Pengawasan Dewan Direksi terhadap manajemen perusahaan sangat lemah. Bahkan, tiga tugas besar status fidusia direktur, yakni ketaatan, loyalitas dan ketekunan[18] sama sekali tidak dipejalankan. Dewan Direksi justru mengembangkan sejumlah strategi bisnis utilitarianistik yang merugikan masa depan perusahaan  untuk mencapai tujuan-tujuan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, namun merugikan stakeholders . Tindakan ini menurut Doughlas M Branson merupakan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip Fiduciary Duty.[19]

1.1.4   Ketidakadilan
Prinsip tata kelola lain yang dilanggar oleh Enron adalah fairness. Fairness berkaitan dengan keadilan. Keadilan mempunyai pengertian yang sangat luas. Namun, arti sederhana bisa diambil dari ungkapan Romawi bertuliskan tribuere cuique, artinya memberikan apa yang menjadi hak orang[20]. Keadilan berkaitan dengan pengaturan hak dan kewajiban semua pemangku kepentingan  secara fair. Dengan kata lain, hak legal, hak ekonomis dan hak moral serta kewajiban-kewajiban seperti ketaatan, konfidensialitas dan loyalitas menjadi objek material dari keadilan [21]. Ini juga menjadi hakikat pengelolaan yang sehat. Dalam tata kelola, sebagaimana ditegaskan oleh Adrian Sutedi, keadilan atau fairness terungkap dalam perlakuan yang sama terhadap pemegang saham dengan keterbukaan inrormasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam[22].
Peluang-peluang yang memberi ruang ketidakseimbangan terhadap  hak dan kewajiban pada pihak-pihak tertentu serta membuat kebijakan manipulatif merupakan praktik ketidakadilan dalam bisnis. Dan manajemen Enron melakukan hal ini.  Seperti sudah disinggung dalam butir sebelumnya, kalangan karyawan dan mitra memperkaya diri  dengan mudah,  karena lemahnya pengawasan Dewan Direksi.   Ini berarti, di satu sisi ada pihak yang diuntungkan, di lain sisi ada pihak yang sangat dirugikan. Yang diuntungkan adalah mereka yang mempunyai andil dengan manejemen perusahaan dan mendapat kesempatan untuk itu, seperti karyawan, sedangkan yang dirugikan adalah yang sebaliknya, termasuk di dalamnya  pemegang saham dan investor.     
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan perusahaan Enron telah menerapkan tata kelola yang salah, karena melanggar  prinsip-prinsip dasar good corporate governance yang berintikan pada empat nilai utama, yakni akuntabilitas, transparansi, tanggung jawab serta keadilan. Pengabaian terhadap prinsip-prinsip tata kelola demikian  menyumbang  bagi kehancuran Enron.

1.2  Deviasi Etika Profesi Akuntan
Selain pengelolaan yang tidak sehat, penyimpangan nilai-nilai etis profesi  akuntan menjadi penyebab lain bagi kehancuran Enron. Dengan kata lain, kebangkrutan Enron juga terjadi karena prinsip-prinsip etika profesi, yang dalam hal ini adalah etika profesi akuntan, diabaikan dalam tugas-tugas sebagai akuntan. Pelanggaran ini sangat jelas dilakukan oleh lembaga akuntan bernama  Arthur Andersen (AA)[23].   
 Sebagai lembaga audit keuangan ternama, AA seharusnya bertindak secara profesional, dalam arti melakukan audit berdasarkan prinsip-prinsip formal audit[24]. Namun AA tidak melakukan hal ini. Sebagaimana dijelaskan di atas, Enron telah melakukan berbagai kekeliruan, termasuk dalam pelaporan keuangan berbentuk manipulasi data. Namun AA tidak mempertanyakan kekeliruan itu.  Sebaliknya, AA berkompromi dengan perusahaan, bahkan menawarkan jasa kepada Enron untuk turut memperbaiki kekeliruan yang menurut hukum audit sudah jelas-jelas serharusnya menjadi penemuan mayor[25].  
Ada empat  nilai utama etika profesi akuntan  yang dilanggar oleh Arthur Andersen. Pertama, independensi. Independensi berarti tidak tergantung pada kemauan atau kepentingan tertentu. Menurut Michael Pakaluk setiap profesi memiliki independensi dalam melakukan tugasnya. Mengingat akuntan juga merupakan sebuah profesi, maka independensi juga menjadi bagian prinsip bagi seorang akuntan.  Akuntan tidak boleh tunduk pada kepentingan tertentu entah kepentingan diri sendiri ataupun kepetingan auditee, selain tunduk pada prinsip-prinsip audit dan kepentingan umum[26]. Bahkan menurut Ronald F Duska, kepentingan publik harus mengatasi kepentingan-kepentingan di luarnya.[27]  Dengan kata lain, seorang akuntan haruslah berpendirian dalam tugasnya. Seorang auditor memang memberi pelayanan nasihat manejemen  kepada perusahaan. Namun pelayanan itu bertujuan untuk melihat sejumlah alasan-alasan objektif terhadap data perusahaan yang diaudit. Di sini kemandirian sangat penting. Tugas auditor adalah membuat laporan objektif tentang segala hal dalam pandangan mereka yang mungkin menjadi bahan pertimbangan bagi investor untuk membuat keputusan  investasi[28].  
Akan tetapi prinsip demikian tidak menjadi perhatian bagi Arthur Andersen. AA justru menempatkan kepentingan di atas prinsip etis tersebut. Arthur Andersen malah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip independensi, yakni mendiskusikan dan mengakomodir kekeliruan yang dilakukan oleh Enron.[29] Selain bayaran yang tinggi, banyaknya Akuntan Arthur Anderson yang menjadi auditor internal Enron menunjukkan bahwa AA tidak berpegang teguh pada independednsi, karena kondisi ini justru sarat dengan kepentingan.  Dengan kata lain, para auditor telah terkooptasi oleh ketergantungan pada pihak lain sehingga ia bukan lagi orang yang bebas dan otonom untuk membela prinsip-prinsip profesinya[30].  
Kedua, adalah integritas. Integritas merupakan elemen karakter dasar bagi pengakuan profesional. Integritas berkaitan dengan kualitas yang dengannya kepercayaan publik muncul, sekaligus menjadi ujian bagi pengambilan keputusan. Menurut Steven MR Covey, orang yang mempunyai integritas adalah dia yang berpegang pada prinsip dan menjadikan prinsip itu sebagai karakternya. Dia memiliki keutuhan diri. Ia tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang harus tidak dilakukan. Dia juga tidak mudah dipengaruhi oleh iming-iming. Dia berani mengatakan benar kalau memang benar, salah kalau memang salah.[31] Ketika ia berhadapan dengan kekosongan standar, aturan, dan petunjuk dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, seorang yang berintegritas mampu mengambil keputusan berdasarkan suara hatinya.
Pengertian Steven Covey di atas menurut Mickhael Pakaluk juga berlaku bagi seorang akuntan.[32] Ini berarti, seorang akuntan harus berani mengatakan kebenaran, serta tunduk pada prinsip-prinsip profesinya secara konsisten, dan tidak mudah terpengaruh oleh godaan.[33]  
Dalam praktiknya,  hakikat integritas itu dilanggar oleh AA. AA dengan begitu mudah tergoda oleh uang. Bahkan uang menjadi pegangan dan mampu membeli dirinya dan profesinya. Seperti disebutkan di atas Arthur Anderson tahu bahwa Enron telah melakukan penghilangan data penting berupa dokumentasi laporan keuangan.  Berhadapan dengan situasi seperti ini seharusnya auditor mempertanyakan dan menggali alasan Enron mengapa melakukan penghilangan itu.
Namun AA tidak melakukan tugas itu. AA justru melakukan kompromi dengan Enron dalam kesalahan, yang mana sikap ini menurut Ronald Duska merupakan pelanggaran besar dalam etika profesi akuntan dan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip audit[34]. Dengan kompromi, AA telah mengabaikan tugas seorang akuntan untuk berpijak pada akuntansi, dan peranannya untuk  mengamankan  kepercayaan, kepentingan fungsi yang baik dari pasar dengan memberikan kenyataan keuangan secara objektif, akuntabel dan dapat diverifikasi[35].
Ketiga adalah objektivitas. Objektivitas adalah ungkapan independen. Prinsip ini  memuat sikap imparsial, jujur secara intelektual, bebas dari konflik kepentingan. Objektivitas berkaitan dengan kebenaran faktual, bukan pada penafsiran. Ini juga merupakan bagian prinsip yang harus dipegang oleh seorang akuntan. Objektivitas seorang akuntan terlihat pada bagaimana ia menempatkan data dalam mengevaluasi dan menyimpulkan hasil auditnya. Jelas bahwa bagi seorang akuntan data menjadi sumber dan dasar untuk memberikan penilaian terhadap situasi keuangan yang diaudit. Inilah menurut Mark Cheffer sikap objektif.[36] 
Dalam perilaku AA sikap-sikap di atas juga tidak diindahkan. Data justru diabaikan, digantikan dengan kepentingan.  Sudah jelas-jelas AA menemukan masalah dalam laporan keuangan Enron bahwa Enron telah menghancurkan data-data keuangan yang mempengaruhi, bahkan menentukan arah situasi buruk keuangan perusahaan, namun AA tidak melaporkan penemuan itu, melainkan  berkompromi dengan kesalahan perusahaan dengan menawarkan diri menjadi konsultan[37].
Dalam kaitan dengan itulah menurut Mikhael, ada tiga konsiderans yang dilanggar oleh AA.  Pertama,  fungsi untuk menyatakan kebenaran dengan memperlihatkan diri sebagai seorang peneliti berpendidikan.  Kedua, fungsi untuk melakukan verifikasi atas penemuan-penemuannya, dan ketiga, melayani kepentingan yang lain yang membutuhkan hasil pekerjaannya. Dalam hal ini eksistensi seorang akuntan adalah melayani, bukan mencari kepentingan diri atau melindungi diri.[38]
Prinip keempat yang dilanggar oleh AA adalah tanggung jawab kepada publik. Ronald F Duska menyatakan bahwa peranan dan konsistensi menjalankan kewajiban untuk mempertahankan integritas, dan otonomi, serta kejujuran dalam memberikan pernyataan finansial merupakan wujud dari tanggung jawab seorang akuntan kepada publik[39]. Kendati seorang akuntan mempunyai hubungan dengan kliennya, namun hubungan itu tetap dalam kerangka profesi.  Dengan kata lain, hubungan auditor dengan klien bukanlah hubungan privat, melainkan hubungan profesional.
Pernyataan di atas memuat makna bahwa konflik antara kepentingan klien dengan kepentingan publik harus diatasi oleh seorang auditor dengan loyal pada prinsip-prinsip audit. Seorang auditor tidak bertanggung jawab pada klien. Ia bertanggungjawab pada publik sebagai konsekuensi dari tuntutan profesinya.  Melihat hal ini, Ronald F Duska setuju dengan ungkapan Justice Burger yang menyatakan bahwa  akuntan adalah  “a public watchdog function”[40]. Singkatnya, tanggung jawab seorang akuntan publik adalah mengutamakan kepentingan pihak ketiga, bukan kepentingan pribadi klien maupun kepentingan pribadi.
Hakikat tanggung jawab di atas sangat diabaikan oleh Arthur Andersen dalam menjalankan tugasnya sebagai akuntan eksternal Enron. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, AA tidak bisa membedakan mana kepentingan pribadi, dan klien, serta mana kepentingan publik. Kepentingan pribadi dan klien justru mengalahkan kepentingan publik. AA juga mengabaikan prinsip-prinsip audit sebagai dasar menjalankan tugasnya.[41] Semua ini merupakan bukti nyata minimnya tanggung jawab profesi.
Deviasi moral yang dilakukan oleh AA telah memiliki implikasi yang sangat mendasar  bagi reputasinya sebagai lembaga akuntan yang ternama dan eksistensinya di depan publik. Dengan penyimpangan itu, kepercayaan publik  terhadap lembaga  terhenti dan hilangnya kepercayaan ini telah mengancam  eksistensi dan masa depan perusahaan. Penyimpangan terhadap semua prinsip etis di atas menunjukkan bahwa AA tidak profesional. AA tidak bisa memilah-milah kepentingan pribadi dari kepentingan publik, tidak mengindakan independensi,  serta integritas, objektivitas, yang keempat nilai-nilai ini merupakan inti etika profesionalisme seorang akuntan[42].   
  
2.                  Ekpektasi Etis terhadap Tata kelola dan Profesi Akuntan
Kebangkuran Enron membawa pelajaran yang berharga tidak hanya bagi Enron dan Athur Andersen sendiri, melainkan juga bagi masyarakat dunia. Dengan kata lain, peristiwa buruk itu mempunyai dampak yang luas, sekaligus membangkitkan ekspektasi etis dalam berbagai bidang kehidupan seperti  bidang ekonomi, profesi, maupun bidang politik.  Ekspektasi etis itu adalah harapan dan kesadaran baru di masyarakat luas akan pentingnya penerapan etika dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Peristiwa buruk demikian juga menjadi antitesis bagi pandangan kelompok yang memisahkan etika dan moral dari kegiatan bisnis, yang diistilahkan Joseph W Weis dengan kelompok penganut mitos bisnis amoral[43]. Artinya, memandang moral sebagai sesuatu yang terpisah dari etika merupakan sesuatu yang keliru. Karena fakta kehancuran Enron telah membuktikan hal itu.
Pertanyaannya, apa substansi ekspektasi etis dari peristiwa tersebut? Dengan pertanyaan lain, pelajaran moral apa yang bisa ditarik dari kehancuran Enron dan Arthur Andersen?  Ada dua hal sebagai jawaban pertanyaan ini, yakni  tuntutan penerapan tata kelola secara konsisten dan peningkatan kesadaran para akuntan untuk mempraktikkan etika profesi.

2.1 Tuntutan Aplikasi Good Corporate Governance
Terkait dengan tata kelola, peristiwa Enron telah memunculkan harapan baru, yakni ekspektasi etis di masyarakat berkaitan dengan kualitas pengelolaan perusahaan di belahan dunia,.  Dan ekspektasi etis ini telah mendapat tanggapan dari berbagai perusahaan baik perusahaan besar maupun perusahaan kecil. Leonard J Brooks menunjukkan bahwa  di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Inggris, kesadaran untuk memperbaiki kerangka kerja tata kelola organisasi ke arah yang lebih baik demi mengembalikan kepercayaan dalam sistem pasar modal perusahaan mengalami peningkatan[44].
Terkait dengan itu Brooks mencatat sekurang-kurangnya tujuh kesepakatan dalam upaya memenuhi harapan publik.[45] Pertama, pentingnya klarifikasi peran, tanggung jawab dan akuntabilitas dari Dewan Direksi, subkomitenya, dan para direktur pribadi, serta auditor. Kedua, penurunan konflik kepentingan yang mempengaruhi para direktur, eksekutif dan auditor sehingga pihak-pihak ini melatih kesetiaan, penilaian independen dan objektivitas demi kepentingan terbaik para pemegang saham atau perusahaan, atau dalam kasus auditor untuk kepentingan publik.  Ketiga, memastikan bahwa para top management memiliki informasi yang cukup mengenai rencana dan kegiatan perusahaan, cakupan kebijakan dan pengendalian internal untuk memastikan kepatuhan, termasuk keprihatinan pada whislte blower. Keempat, memastikan bahwa para direktur memiliki kompetensi keuangan yang memadai dalam keahlian yang diperlukan.
Kelima, memastikan bahwa laporan keuangan dibuat dengan akurat, lengkap, dapat dipahami dan bersifat transparan. Keenam, memastikan standar akuntansi memadai untuk melindungi kepentingan para investor. Ketujuh, memastikan bahwa pengaturan dan pengawasan auditor perusahaan publik, seperti janji dan porsi parameter, apakah telah mencukupi atau tidak.

2.2  Kepedulian akan Etika Profesi Akuntan
Ekspektasi etis publik tidak hanya pada tata kelola, tetapi juga kualitas profesi akuntan. Peristiwa Enron dan Arthur Andersen telah membangkitkan kesadaran baru untuk menempatkan etika profesi secara konsisten sebagai pegangan dalam profesi akuntan.  Dengan kata lain, kedua kasus tersebut memberikan kesadaran yang jauh lebih besar terhadap masalah dan tren etika yang sedang berjalan, termasuk konflik kepentingan pribadi, kontrol kepentingan pribadi, tugas fidusia direksi kepada pemegang saham dan auditor terhadap kepentingan umum, serta makna sebuah bisnis yang baik dalam mengembangkan budaya etis dalam profesi akuntan. Budaya etis itu harus didasarkan pada kejujuran, keadilan, integritas, objektivitas, tanggung jawab, dan kepercayaan, serta penghargaan kepada kepentingan pemangku kepentingan.
Itu berarti, kegagalan kedua perusahaan meningkatkan perhatian pada etika dan reputasi secara serius. Apa yang dikatakan oleh Richard T De George bahwa etika adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bisnis dan menjadi lem yang merekatkan semua pihak yang terkait dalam bisnis[46] semakin diakui oleh pelaku bisnis. Ini mengubah paradigm lama yang hanya melihat risiko ekonomi sebagai dasar pertimbangan dengan paradigm baru yang menempatkan risiko etis sebagai dasar pertimbangan dalam menjalankan bisnis. 
Besarnya perhatian pada etika profesi akuntan itu diperkuat dengan kehadiran dokumen bernama Sarbanes-Oxley Act (SOX). Selain landasan legal formal, bagi profesi akuntan, SOX  juga  memberikan kejelasan tentang peran, tanggung jawab dan keanggotaan subkomite audit atas dewan, karena dokumen ini memuat penegasan tentang kedudukan subkomite audit yang secara langsung bertanggungjawab atas janji, kompensasi dan pengawasan, serta tugas-tugas subkomite audit seperti membuat prosedur untuk menerima dan menanggapi keluhan terkait dengan akutansi, audit, pengendalian internal, termasuk menetapkan prosedur yang memungkinkan karyawan mengajukan keluhan secara anonim, serta menyetujui setiap layanan nonaudit yang akan diberikan oleh auditor[47].
Dari uraian panjang di atas jelaslah bahwa tuntutan untuk menjalankan profesi berdasarkan standar moral semakin gencar. Nilai-nilai etis bahkan dilihat sebagai ukuran yang menentukan profesionalitas seorang akuntan. Menurut Mark Cheffers, internalisasi dan penerapan etika secara maksimal akan menghindari kehancuran profesi[48]. Inilah pelajaran berharga dari kasus Arthur Andersen.   

3.         Pentingnya Etika Profesi Akuntansi dalam Pendidikan
Terkait dengan pernyataan akhir butir di atas, pertanyaan yang relevan dimunculkan, upaya apa yang diperlukan agar etika profesi sungguh mendarah daging bagi para  akuntan? Jawabnya adalah internalisasi nilai-nilai etis sejak dini. Dan wadah yang sangat strategis untuk itu adalah dunia pendidikan. Sebagaimana ditegaskan oleh Filsuf klasik Yunani, Plato, dunia pendidikan merupakan wadah yang sangat tepat dalam pembentukan kualitas pribadi seseorang[49]. Masa pendidikan merupakan kesempatan untuk mempersiapkan para calon akuntan sebelum dia terjun ke masyarakat. Di dalamnya mutu kepribadian seorang akuntan dibentuk. Jadi, dalam masa pendidikan akuntan mengalami humanisasi dan hominisasi, sebagaimana ditegaskanoleh N Driyarkara[50].
Karena masa sekolah merupakan humanisasi dan hominisasi, maka mutu pendidikan perlu menjadi perhatian. Dan pendidikan yang bermutu adalah pendidikan mengembangkan kepribadian peserta didik secara komprehensif.  Artinya, bukan hanya kemampuan kognitif berupa pengetahuan yang memadai  perlu dikembangkan, tetapi juga kemampuan afektif dan psikomotorik[51].  Dalam mengembangkan dua aspek terakhir, etika harus dijadikan sebagai bagian integral pendidikan. Berkaitan dengan profesi akuntan, etika profesi akuntan menjadi sangat relevan. Ini merupakan upaya untuk membekali para calon akuntan tentang prinsip-prinsip etis  sebelum terjun ke masyarakat. Internalisasi etika profesi tidak terjadi dalam waktu yang singkat dan tidak pula terjadi dengan sendirinya. Proses dan waktu yang panjang diperlukan untuk itu. Dan awal dari proses dan waktu yang panjang itu adalah dunia pendidikan.  
Memang harus diakui bahwa pengajaran mata kuliah etika profesi tidak secara otomatis membuat kaum professional, termasuk akuntan berperilaku etis, namun minimal kesadaran mereka tentang nilai-nilai moral dibuka. Dengan kesadaran itulah mereka dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mampu mengambil keputusan secara tepat, serta mencari solusi atas masalah yang dihadapi di lapangan di kemudian hari. Seperti dikatakan oleh Socrates, pengetahuan tentang apa yang baik dan yang buruk merupakan dasar untuk menilai apa yang baik dan apa yang buruk[52].  Ini berarti pengetahuan merupakan langkah awal dalam membentuk perilaku dan dasar penilaian etis. Kasus Arthur Andersen telah menjadi sebuah pelajaran berharga bahwa  minimnya kesadaran etis merupakan akar kehancuran pada masa depan profesi.
Dalam mengantisipasi agar hal ini tidak terjadi, etika profesi memiliki andil besar. Karena itu etika profesi sangat relevan bahkan mendesak dijadikan sebagai bagian integral pendidikan akuntansi maupun Pendidikan Profesi Akuntan. Kedudukan akuntan sebagai jantung atau hati dari korporasi[53] mengisyaratkan bahwa seorang akuntan harus mempunyai kesadaran yang memadai tentang etika profesi demi menjamin mutu pekerjaan dan eksistensi perusahaan.
Ada empat alasan mengapa etika profesi perlu menjadi bagian pendidikan akuntan[54]. Pertama, sebagaimana sudah terlihat dalam kasus Arthur Andersen, seorang akuntan berhadapan dengan masalah  yang kompleks, yang jawabannya kadang-kadang tidak bisa disandarkan pada keyakinan yang dimilikinya maupun  yang ada di masyarakat. Berhadapan dengan situasi itu, pertanyaan yang muncul, ke mana ia harus mencari jawaban? Jawabanya adalah pada suara hatinya[55]. Namun suara hati harus terus dibina, dan pembinaan itu terjadi salah satunya melalui pendidikan.[56]  
Kedua, di lapangan seorang akuntan harus mengambil keputusan berhadapan dengan berbagai nilai yang dihadapinya, bahkan bisa saja terjadi dilemma, seperti yang dialami Arthur Andersen. Dalam berhadapan dengan situasi dilematis ini, etika memberikan insight bagi sang akuntan. Etika akan mendorongnya untuk aktif mencari alasan-alasan yang memadai mengapa ia menolak sesuatu, tetapi menolak yang lain.  Dengan kata lain, etika membuat seorang akuntan bertindak secara rasional dan objektif dalam menjalankan tugasnya kelak.  
Ketiga, terkait dengan alasan kedua, etika mengantar seorang akuntan untuk mengkritisi  apa yang dihadapi dan dikerjakan agar layak dijalani. Sebagaimana dikatakan oleh Socrates, hidup yang tidak teruji tidak layak dihidupi[57]. Bagi seorang akuntan ini penting agar semakin memberi makna bagi profesinya, dan terhindar dari konflik kepentingan.
Keempat, pendidikan etika profesi membekali calon akuntan dengan kemampuan yang memadai dalam mengidentifikasi berbagai persoalan di lapangan dan menerapkan prinsip-prinsip dasar di tengah persoalan itu secara konsisten dalam mengemban profesinya. Dengan kejernihan pikiran ini kelak calon akuntan bisa bertindak secara benar. Dengan dasar inilah calon akuntan yang berintegritas, otonom, bertanggungjawab, bertindak objektif, memiliki kepedulian pada kepentingan umum, yang semuanya menjadi prinsip-prinsip utama bagi seorang akuntan dan menjadi ciri-ciri karakter akuntan profesional[58] akan terbentuk. Semua prinsip ini merupakan muatan dari etika profesi akuntan.  

4.        Penutup
Peristiwa selalu mempunyai makna dan makna itu harus digali secara mendalam agar bisa menjadi pelajaran berharga di kemudian hari. Suatu peristiwa merupakan kesaksian sejarah. Namun kesaksian sejarah itu bukan tanpa makna, sebaliknya sarat dengan maknya. Dengan demikian peristiwa sejarah juga bisa memuat fungsi penyebaran nilai.[59] Jika pernyataan ini dikaitkan dengan Enron dan Arthur Andersen, maka jelaslah kebangkrutan keduanya pada tahun 2001 merupakan kesaksian sejarah yang sarat dengan pelajaran moral yang berharga.
Ada dua pelajaran moral berharga yang bisa diambil dari peristiwa tersebut. Pertama, pentingnya pengelolaan yang sehat dalam menangani bisnis. Inti pengelolaan yang sehat itu adalah pemberlakuan prinsip akuntabilitas, transparansi, fairness serta tanggung jawab dalam menangani bisnis atau perusahaan. Kesadaran dan tekad untuk konsisten untuk menerapkan semua prinsip ini akan menghindari kehancuran bisnis.
Kedua, dalam menjalankan profesi, seorang profesional harus berpijak pada nilai-nilai etis. Akuntan sebagai profesi tidak luput dari tuntutan ini. Karena itu pula seorang akuntan harus menjaga profesionalisme dalam menjalankan tugasnya  dengan komitmen pada prinsip-prinsip formal akuntansi dan etika profesi akuntan yang berintikan pada integritas, otonom, tanggung jawab, dan independen, objektif, serta berpihak pada kepentingan umum.
Tuntutan semakin besar untuk memperhatikan nilai-nilai etis dalam profesi akuntan mengisyaratkan pentingnya menempatkan etika profesi  sebagai bagian integral dalam pendidikan akuntansi dan profesi akuntan. Dengan kata lain, etika profesi akuntan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan calon-calon akuntan[60]. Tujuannya adalah untuk memberikan mereka modal hidup dalam mengemban profesi berbentuk kemampuan untuk membedakan yang baik dari yang buruk, yang benar dengan yang salah, kesadaran yang besar tentang prinsp-prinsip etis. Kelak dengan berbekalkan semua ini mereka dapat mengambil keputusan yang tepat dalam pekerjaannya. Dan modal yang mendasar itu didapatkan melalui pendidikan etika profesi. Karena itulah tuntutan untuk menempatkan etika profesi sangat tepat dijadikan sebagai bagian integral dari pendidikan calon-calon akuntan maupun pendidikan profesi akuntan.
***






Daftar Pustaka
Bertens,  K  ( 2000). Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius.
Bloom, Benjamin S. (1956). Taxonomy of Educational Objectives: The Classification
of Educational Goals, New York: David McKay.
Branson, Douglas M,  (1993). Corporate Governance, Virginia: The Michie
Company.
Brooks, Leonard J & Paulin Dunn, (2011). Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur,
Eksekutif, dan Akuntan  Buku 1 dan 2, terjemahan Kanti Pertiwi, Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Byrnes,  Nanette Byrnes, et al, “Publik Accounting in Crisis”, Business Week,
January 28, 2002.
Carrol, Archie B and Ann K Buchholt, (2009). Business & Society: Ethics and
Stakeholder Management, South-Western: Cengage Learning.
Cheffers, Mark & Michael Pakaluk, (2007), Understanding Accounting Ethics, 2nd
edition, Massusetha: Allan Davis Press.
Covey, Steven M R with Rebecca R Merril, ( 2008). The Speed of Trust: The One
Thing That Changes Everything, New York: Free Press.
De George, Richard T, ( 2003). The Ethics of Information  Techonolgy and Business,
United Kingdom: Blackwell.
Duska, Ronald F Duska and Brenda Shay Duska.  (2006). Accounting Ethics, USA:
Blacwell Publishing.
McPhail, Ken and Diane Walters, (2009). Accounting & Business Ethics, London
and New York: Rougledge Taylor & Francis Group.
Pakaluk, Michael  & Mark Cheffers, (2011). Accounting Ethics and the
Near Collapse of The World’s Financial System, Massachusetts: Alen Daved Press.
Plato, (1997). Rebublic, translated by Jhon Lleweyln Davies and David James
Vaughan, Great Britain: Wordsworth Classics of World Literature.
Signour, L Josep, (2010). Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral terhadap Perilaku
Bisnis Kontemporer,  Jakarta: Penerbit Obor.
Sihotang, Kasdin, (2009). Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme,
Jakarta: Kanisius.
Sihotang, Kasdin, (2014). Kerja Bermartabat: Kunci Meraih Sukses, Jakarta:
Penerbit Universitas Atma Jaya.
Sudarminta,  J.,  (2013), Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan
Teori Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius
Sularto, St, ed, (2006). Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta  & Yogyakarta:
Gramedia & Kanisius.
Suseno, Franz Magnis, (1985), Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral, Yogyakarta: Kanisius.
Sutedi, Adrian, (2011). Good Corporate Governance, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Tredennick, Hugh & Harold Tarrant, (2003). Plato: Hari-hari Terakhir Socrates
Euthyphro, Apology, Crito, Phaedo, terj. Eleonora Brighita, Jakarta: Elexmedia Komputindo.
 Weis, Joseph W, (2000).  Business Ethics: A Stakeholder and Issues Management
Approach, South Western: Thomson.



BIODATA   PENULIS

foto kasdin sampul luar.jpgKasdin Sihotang, lahir di Huta Godung, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, 9 Juni 1966. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri, Huta Godung (1981), pendidikan menengah di SMP Santa Maria, Pakkat (1983), dan  SMA Seminari Menengah, Pematang Siantar (1987). Meraih gelar S1 (1993) dan S2 (2004) dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Sejak 1996 menjadi staf inti Pusat Pengembangan Etika (PPE), dan tahun 2000 menjadi  dosen tetap di Fakultas Ekonomi untuk Filsafat dan Etika Bisnis, serta Etika Profesi Akuntan.  Karya-karyanya berbentuk opini pernah dimuat  di sejumlah media cetak nasional seperti Kompas, Suara Karya, dan Seputar Indonesia, The Jakarta Post dan  Suara Pembaruan. Karya berbentuk buku antara lain Filsafat Manusia:Upaya Membangkitkan Humanisme ( Kanisius, 2013, cet. ke-6); Kerja Bermartabat: Kunci Meraih Sukses (Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014). Menyumbang artikel  dalam beberapa buku seperti  Handbook of Modern Secretary (PPM, 2010); Moralitas Lentera Peradaban ( Kanisius, 2011), Civic Education ( Fidei, 2011), Critical Thinking (Sinar Harapan, 2012), Pendidikan Pancasila (Penerbit Universitas Atma Jaya, 2013), dan Wacana Tubuh dan Kedokteran ( Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014). Selain itu menjadi editor sejumlah buku seperti Restrukturisasi Menuju Kemandirian (Unika Atma  Jaya, Jakarta, 2000);  Politik Katolik Politik Kebaikan Bersama (Penerbit Obor, 2008); Teropong Pendidikan Kita: Antologi Artikel2007-2008 (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008); Opini Pendidikan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008), Ilmu Politik ( Penerbit Universitas Atma Jaya, 2013), Hak Asasi Manusia (Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014), Literasi Informasi (Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014) dan Determinasi Kesesehatan Masyarakat ( Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014). Pada 2008, mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional atas artikel berjudul “Peran Sosial Perguruan Tinggi” yang diterbitkan harian Suara Pembaruan, 7 Juli 2007. Kini menjadi Koordinator Unit Pelaksana Teknis Matakuliah Pengembangan Kepribadian (UPT MPK) Unika Atma Jaya, Jakarta dan penulis tetap rubrik etika di Harian Suara Pembaruan.***



[1] Bdk. Leonard J Brooks & Paulin Dunn (2011), Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur, Eksekutif, dan Akuntan  Buku 1, terjemahan Kanti Pertiwi, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, hal. 91.
[2]Dalam perjalannnya sepanjang akhir periode 1990-an, pergerakan saham perusahaan Enron sangat menggembirakan. Saham perusahaan ini naik secara perlahan-lahan, namun  meyakinkan dengan rentang perdagangan $20- $40. Dalam beberapa bulan awal milenium baru, harga saham Enron melonjak menjadi $ 70. Selama tahun 2000 saham Enron diperdagangkan di kisaran $ 60 sampai $90  dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus 2001 dengan harga $ 90.56. Peningkatan drastis harga saham ini menunjukkan tingkat kepercayaan pasar sangat besar pada Enron. Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi  bagi Enron pada tahun 2001.  Pada tahun itu perkembangan perusahaan mengalami antiklimaks. Perdagangan saham menurun drastis hingga sampai pada satu titik di mana saham Enron berada pada titik nol. Pada 2 Desember 2001 manajemen perusahaan Enron meminta perlindungan dari kreditur di bawah pengawasan US Securities Act. Pada tanggal 2 April 2002 sahamnya hanya bernilai 24 sen pada pasar over the counter, yang artinya tidak terdaftar pada pasar bursa saham utama. Ini berarti perusahaan Enron mengalami gejala kebangkurtan (Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal.89.
[3] Ibid., hal. 89.
[4] Faktor kedua bersifat korelasional dengan faktor yang pertama. Artinya, kehancuran Enron juga karena tidak diterapkannya etika dalam menjalankan proesi akuntan. Namun di paper ini kedua faktor dipisah dalam uraian dengan tujuan memberi tekanan pada pentingnya dua aspek dalam kegiatan bisnis, yakni pengelolaan dan etika dalam kerja.
[5] Bdk. Leonard J Brooks., op.cit., hal. 84-121.
[6] Bdk. Richard T de George, ( 2003). The Ethics of Information  Techonolgy and Business, United Kingdom: Blackwell, hal. 37.
[7] Bdk. Leonard J Brooks & Paul Dunn ( 2012), Etika Bisnis dan Profesi untuk Direktur, Eksekutif dan Akuntan, cet.ke- 5, Buku 2, Jakarta: Salemba Empat, hal. 2-40.
[8] Ada empat prinsip dasar tata kelola, yakni akuntabilitas, transparansi, dan keadilan serta tanggung jawab. Keadilan menjamin perlindungan hak para pemegang saham dan menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor. Transparansi mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan. Akuntabilitas menjelaskan peran dan tanggung jawab serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manejemen dan pemegang saham sebagaimana yang diawasi oleh Dewan Komisaris. (Lihat  Archie B. Carrol and Ann K Buchholtz (2009). Business & Society: Ethics and Stakeholder Management, South-Western: Cengage Learneng, hal. 122. Juga lihat Adrian Sutedi, Good Corporate Governance, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 4.
[9] Dengan merujuk laporan Power Report, Leonard J Brooks menyatakan bahwa pada tanggal 16 Oktober 2001 Enron mengumumkan bahwa perusahan mengambil $ 544 juta setelah pajak yang dibebankan pada laba yang terkait dengan transaksi LJM2 Co-Investment LP, menjadikan Fastow sebagai mitra, padahal Fastow adalah bagian dari perusahaan. Enron juga mengumumkan pengurangan ekuitas pemegang sehamnya sebesar$ 1.2 miliar yang berkaitan dengan transaksi dengan entitas yang sama. Kurang dari satu bulan, Enron membuat laporan baru tentang kondisi keuangan yang keliru terkait dengan transaksinya dengan kemitraan Fastow yang lain dan tambahan entitas pihak terkait, yakni Chewco Investment, yang dikelola oleh karyawan Enron Global Finance. Ditemukan pula bahwa ada penyajian kembali seperti yang sebelumnya dibebankan pada laba dan pengurangan ekuitas pemegang saham yang jumlahnya sangat besar untuk periode 1997 hingga 2001, karena kesalahan akuntansi terkait transaksi dengan kemitraan Fastow yang lain, LJM Cayman, LP dan tambahan entitas pihak terkait, Chewco Investment yang dikelola oleh Enron Global Enron. Dalam laporan ini  Enron ada pengurangan rugi laba sebesar $ 248 juta dari $ 979 pada tahun 1999 dan $299 juta dari total $ 979 juta  pada tahun 2000. Penyajian ulang menyebabkan pengurangan ekuitas pemegang saham yang dilaporkan pada tahun 1997 yang besarnya $258 juta dan pada tahun 1998 $ 391 juta, pada tahun 1999 $ 710 juta dan pada tahun 2000 # 754 juta. (Bdk Leonard J Brooks, Buku 1, op.cit., hal. 90-92).
[10] Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal. 88-89.
[11] Dilaporkan bahwa Fastow perusahaan yang ditangani oleh karyawan Enron  memperoleh uang sebesar $ 30 juta, demikian juga Kopper mendapat $ 10 juta ( Lihat Leonard J Brooks, op.cit., hal. 87).
[12] Kondisi ini harus dipenuhi menurut aturan akuntan AS agar Enron bisa mencatat keuntungan dan kerugian transaksi dengan SPE serta aset dan kewajiban SPE tidak dimasukkan dalam neraca Enron walaupun Enron dan SPE berkaitan erat (Bdk. Mark Cheffer & Michael Pakaluk, (2007), Understanding Accounting Ethics, Massuchette: Allen Davis Press, hal. 91-94.
[13] Dalam tata kelola perusahaan, laporan keuangan yang transparan  mempunyai korelasi dengan tingkat kepercayaan para investor dan pemegang saham. Di negara-negara maju, para investor bersedia memberi premium yang cukup tinggi kepada perusahaan yang menerapkan prinsip transparansi dengan konsisten. Hal ini ditemukan oleh Mc Kinsey (Lihat, Adrian Sutedi, op.cit., hal. 57).
[14] Bdk. Ronald F Duska and Brenda Shay Duska,  (2006), Accounting Ethics, USA: Blacwell Publishing,  hal. 107.
[15] Bdk. Kasdin Sihotang, (2014), Kerja Bermartabat: Kunci Meraih Sukses, Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, hal. 157. Lihat juga Ronald F Duska, op.cit., hal. 156.
[16] Bdk. Joseph W Weis, (2000).  Business Ethics: A Stakeholder and Issues Management Approach, South Western: Thomson, hal. 140.
[17] Bdk. Adrian Sutedi, op.cit.,  hal. 89.
[18] Bdk. Leonard J Brook, op.cit., hal. 100.
[19] Bdk. Douglas M Branson (1993). Corporate Governance, Virginia: The Michie Company, hal. 32.
[20] Bdk. K Bertens, (2000), Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, hal. 86.
[21] Yang dimaksudkan dengan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan kesejahteraan secara ekonomis meliputi hak mendapatkan gaji atau upay yang adil, hak mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja dan hak mendapatkan bagian bonus atau insentif karena prestasi. Hak hukum berarti hak untuk diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan-aturan atau norma-norma hukum yang berlaku dalam perusahaan. Sementara hak moral adalah hak atas kebebasan suara hati, hak atas rahasia pribadi dan hak atas perlakuan yang sama. Termasuk dalam hak moral adalah melaporkan kecurangan perusahaan, termasuk whistle  blowing (Bdk. Kasdin Sihotang, op.cit., hal. 167-179).
[22] Bdk. Adrian Sutedi, op.cit., hal. 130.
[23] Dalam kasus ini WorldCom juga mempunyai andil bagi kehancuran Enron. Namun penulis membatasi diri pada Enron dan Arthur Andersen saja, karena menurut penulis AA sudah mereprentasikan pelanggaran etis dalam bidang akuntansi. 
[24] Bdk. Mark Cheffers & Michael Pakaluk, op.cit., hal. 233.
[25] Bdk. Ronald F Duska and Brenda Shay Duska, op.cit., hal. 75-92.
[26] Bdk. Michael Pakaluk & Mark Cheffers, (2011), Accounting Ethics and the Near Collapse of The World’s Financial System, Massachusetts: Alen Daved Press, hal. 277. 
[27] Tentang hal ini Ronald F Duska mengatakan, “It discusses four concepts that relate to independence: (1) threats, (2) safeguards, (3) independence risk, (4) significance of threats/effectiveness of safeguards”. ( Bdk Ronald F Duska, opt.cit., hal. 128).
[28] Bdk. Michael Pakaluk & Mark Cheffers, op.cit., hal. 277.  
[29] Nanette Brynes  menyatakan bahwa AA  menerima dana sebesar $ 25 juta  dari Enron dan jasa konsultas sebesar $ 27 juga yang implikasinya adalah AA membantu memperbaiki laporan keuangan dengan bayaran tambahan lebih dari  $ 1 juta. (Bdk. Nanette Byrnes, et al, “Publik Accounting in Crisis”, Business Week, January 28, 2002, hal. 46.)
[30] Bdk Michael Pakaluk & Mark Cheffers, op.cit., hal. 276.
[31]  Steven MR Covey menunjukkan tiga muatan dalam integritas, yakni konsistensi, humilitas, dan keberanian. Artinya, orang yang berintegritas menjalankan apa yang dikatakan dan dipikirkan serta diketahui, namun ia berpihak pada nilai-nilai kebenaran serta memiliki keberanian untuk menolak segala hal yang bertentangan dengan prinsip yang dipegangnya (Bdk. Steven M R Covey with Rebecca R Merril, 2008. The Speed of Trust: The One Thing That Changes Everything, New York: Free Press, hal. 59-61). 
[32] Di Amerika Serikat, prinsip ini merupakan bagian dari kode etik bagi Akuntan Publik yang bersertifikat yang dituangkan pada Section 54-Artikel III ( Bdk. Robert F Duska, op.cit., hal. 202).
[33] Bdk. Michael Pakaluk, op.cit., hal. 279.
[34] Tentang ini Ronald F Duska menulis dengan jelas, “An Accountant should maintain objektivity and be free of conflict of interest in discharging proffesional responsibilities. He/She should be independen in fact and apperance when prividing auditing and other attestation services ( Bdk. Ronald F Duska, op.cit., hal. 85).
[35] Bdk Mikhael Pakaluk,  op.cit., hal. 288.
[36] Bdk. Mark Cheffer and Michael Pakaluk , op.cit., hal. 102.
[37] Tentang hal ini Mark Cheffer menulis, “Andersens’ lack of objectivity in expression is apparent internal memo: The memo states that, “a significance discussion was hel regarding the related party transactions with LJM  including the materially of such amount to Enrons income statement and the emount retain off ballance sheet” ( Bdk. Mark Cheffer and Michael Pakaluk,  op.cit., hal. 102).
[38] Bdk. Michael Pakaluk, op.cit., hal. 89.
[39] Ibid., hal. 113
[40] Ibid., hal. 115.
[41] Bdk. Mikhael Pakaluk, op.cit., hal. 299.
[42] Bdk. Ken McPhail and Diane Walters, (2009). Accounting & Business Ethics, London and New York: Rougledge Taylor & Francis Group, hal. 111.
[43] Menurut Joseph W Weis, mitos bisnis amoral merupakan pandangan yang menyatakan bahwa penempatan etika dalam bisnis merupakan sebuah mitos. Ada lima yang dijadikan sebagai dasar argument untuk menyatakan hal ini. Pertama, etika bersifat personal dan urusan pribadi, bukan urusan publik sehingga tidak relevan ditempatakan dalam bisnis yang berkaitan dengan lembaga. Kedua, etika dan bisnis tidak bisa dikaitkan karena keduanya mempunyai aturan dan bidang yang berbeda. Ketiga, etika bersifat relative dalam arti tidak ada prinsip-prinsip yang bisa dijadikan sebagai standar yang sama. Situasi dan kondisi yang berbeda membuat tuntutan dan aturan berbeda. Keempat, etika sudah termuat dalam upaya menjalankan bisnis yang baik, karena itu bisinis yang baik etika yang baik sama dengan bisnis yang baik. Kelima informasi dan computer adalah amoral, karena tidak bisa dimintai pertanggungjawaban darinya, dan bisnis berkecimpung dalam dua sarana ini.( Bdk. Joseph W Weis, op.cit., hal. 14-28.)
[44] Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal. 11.
[45] Perhatian pada tata kelola  sesungguhnya sudah ada sebelum kasus Enron, namun menurut Leonard J Brooks lebih signifikan dan lebih serius sesudah tragedi Enron. Terkait dengan ini Brook mencoba mengurutkan perubahan itu secara kronologis sebagai berikut. Pada tahun 1994, ada peninjauan tata kelola perusahaan dan membuat rekomentasi untuk praktik perusahaan  terbaik yang merupakan hasil dari pembicaraan Toronto Stock Exchange. Pada tahun 1999 hal yang sama terjadi sebagai kelanjutan sebelumnya dengan mengadakan survei dan analisis prosedur tata kelola perusahaan-perusahaan. Satu tahun kemudian dihasilkan Kode Etik tentang prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan prinsip teladan pengelolaan. Pada bulan November terjadi pengkajian kondisi tata kelola perusahaan di Kanada dan membuat rekomendasi perubahan yang akan memastikannya sebagai contoh pengelolaan di Kanada. Pada tahun 2002, diadakan kembali diskusi Toronto Stock Exchange dengan membuat petunjuk-petunjuk baru. Hasil mengejutkan adalah kesepakatan bahwa CEO dan DVO mengesahkan 8-K, yang berisikan pentingnya meningkatkan akuntabilitas, integritas dan transparansi dari perusahaan yang terdaftar di New York Stock Exchange ( Bdk. Leonard J Brooks, op.cit., hal. 11).

[46] Tentang ini Richard De George mengatakan, “morality is the oil as well as the glue of society and therefore of business” seperti dikutip K. Bertens, op.cit., hal. 379.
[47]Bdk. Michael Pakaluk., op.cit, hal. 120.
[48]Bdk. Mark Cheffers & Michael Pakaluk, op.cit., hal. 20
[49] Bdk. Plato (2006), Rebublic, translated by Jhon Lleweyln Davies and David James Vaughan, Great Britain: Wordsworth Classics of World Literature, hal. 206, 
[50] Bdk. A Sudiardja, SJ, (2006), Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta & Yogyakarta: Gramedia & Kanisius, hal. 366.
[51] Bdk. Benjamin S. Bloom, (1956), Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals , New York: David McKay.
[52] Bdk. Hugh Trendennick & Harold Tarrant ( 2006). Plato, Hari-hari Terakhir Socrates, terj. Eleonora Brigita, Jakarta: Elexmedia Komputindo, hal. 1.
[53] Bdk. Josep L Signour , (20102), Etika Bisnis, Jakarta: Penerbit Obor, hal. 49.
[54] Bdk. Ronald F Duska and Brenda Shay Duska, op.cit., hal. 28-29.
[55] Bdk. Franz Magnis Suseno (1985), Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, hal. 76.
[56] Bdk. J Sudarminta (2013), Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius, hal. 72.
[57] Bdk. Hugh Tredennick & Harold Tarrant, op.cit., hal. 149.
[58] Bdk. Ronald F Duska, op.cit., hal. 77 – 90.
[59] Bdk. Kasdin Sihotang (2009), Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme, Jakarta: Kanisius, hal. 189.
[60] Hal ini juga sangat tegas ditekankan dalam  pertemuan IFAC Comitte Educational Meeting yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 2005. Dalam pertemuan itu dihasilkan suatu rumusan yang menegaskan pentingnya pendidikan etika profesi akuntan dengan fokus pada empat hal. Rumusan itu menyangkut empat tahapan pendidian etika. Rumusan , yakni  Secara jelas hasil pertemuan itu merumuskan bahwa empat tahapan, yakni tahap pengetahuan etika, emosi, penilaian dan perilaku. Lengkapnya adalah sebagai berikut, Stage 1 Ethics Knowledge. Ethics education at this foundation stage instils in accountants fundamental knowledge on matters concerning professional values, ethics and attitudes. Ethics education at this stage focuses on the intellectual background which is necessary to ensure an accountant or accounting learner understand the basic environment which influences decisions, and the fundamental theories and principles of ethics, virtues, and individual moral development which govern one’s actions. Ethics knowledge provides the social, ethical and emotional intelligence for the learner. Stage 2 Ethical Sensitivity. Stage 2 applies the basic ethical principles introduced in Stage 1 to the relevant functional areas (e.g. auditing and taxation) of accounting practice. The purpose of Stage 2 is to sensitise accountants and learners to the ethical dimensions of accounting practice to ensure they are capable of recognizing ethical threats as they arise. Stage 3 Ethical Judgement. Stage 3 is an application stage where individuals learn how to integrate and  apply ethics knowledge and sensitivity to derive at a reasoned and well informed decision. Stage 3 is designed to assist learners and accountants in deciding on ethical priorities and apply a well founded process in making ethical decisions.  Stage 4 Ethical behavior.  Ethical behaviour means acting on principles, not merely believing in them. Therefore, professional accountants have a responsibility not only to abstain from action that may harm others, but in actively pursuing the right course of action. Stage 4 is concerned with how to behave ethically in situational or contextual environments such as the workplace ( Lihat  Draft Professional ethics for accountants: Approaches to the development and maintenance of professional values, ethics and attitudes in accounting education programs, 2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar