Urgensi Etika dalam Bisnis dan Profesi Akuntan
Tinjauan Kritis atas Kasus Enron dan Arthur Andersen
Oleh Kasdin Sihotang
Dosen Etika Profesi Akuntan di FE dan Staf PPE
Unika Atma Jaya, Jakarta
Abstrak:
Bisnis merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari hidup manusia. Sebagai bagian dari kehidupan
manusia, bisnis harus dijalankan secara etis. Ini
berarti, bisnis membutuhkan etika. Jika seorang pelaku bisnis
mengabaikan etika dalam kegiatannya, dia melakukan tindakan bunuh diri. Pengabaian
ini akan menyebabkan kebangkrutan. Fakta inilah yang terlihat
dalam kebangkrutan Enron dan Arthur
Andersen. Kehancuran kedua perusahaan ini
telah membangkitkan kesadaran dan ekspektasi publik baik
bagi para pelaku bisnis untuk menerapkan tata kelola yang sehat berdasarkan prinsip
akuntabilitas, transparansi, fairness
dan tanggung jawab maupun bagi akuntan untuk menerapkan etika profesi yang meliputi integritas,
independensi, objektivitas dan kejujuran serta kepentingan publik. Kehancuran
itu juga mendorong agar etika profesi akuntan menjadi bagian integral
dari pendidikan untuk membangkitkan kesadaran calon akuntan akan apa yang baik
dan apa yang buruk dalam menjalankan pekerjaannya kelak.
Kata-kata
kunci:
tata kelola, akuntabilitas, transparansi, fairness,
tanggung jawab, keadilan, otonomi, independensi, integritas, etika,
etika profesi, profesi akuntan, kepentingan publik dan profesi,
serta pendidikan.
Abstract:
Business is related to human life. As part of human life, it must be
done ethically. It means, business needs
ethics. If businessman ignores ethics from
his activities, he will suicide. His immoral action
will cause a bankcruptcy.
The bankruptcy of Enron and Arthur Andersen are the examples of
corporate badness. It raised people’s awareness and expectation up both to businessman
to apply the principles of the good
corporate governance, that are accountability, transparency, fairness and
responsibility and to accountants to
practice accounting ethics, including integrity, independence,
objectivity, honesty and public interest as well. It was suggested that study on the ethics of accounting profession is
an integrated part of education to rise accounting student’s awareness of rightness and badness in doing
job.
Key Words: Governance, accountability,
transparency, fairness, responsibility, justice, otonomy, independency,
integrity, ethics, professional ethics, the ethics of accounting profession,
public interest, profession and education.
Pengantar
Kehancuran
sebuah bisnis tidak saja disebabkan oleh kebangkrutan ekonomi, melainkan juga
oleh kebangkrutan moralitas dalam mengelolanya. Bahkan kebangkuran moral ini
merupakan sumber yang paling membahayakan bagi kelangsungan bisnis. Penegasan
ini bukan ilusi, melainkan fakta. Banyak perusahaan yang bisa dijadikan sebagai
contoh. Kebangkuran Enron dan Arthur Andersen yang
terjadi di Amerika Serikat[1],
yang menjadi fokus sorotan dalam tulisan ini, adalah
contoh yang jelas untuk itu.
Peristiwa tiga belas tahun lalu tersebut merupakan sesuatu yang sangat mengejutkan bagi dunia bisnis, mengingat
Enron masuk dalam bilangan perusahaan terbesar ke-7 di Amerika Serikat dengan
tenaga kerja 25000 orang maupun Arthur
Andersen sebagai lembaga akuntan ternama[2],
namun memberi pelajaran berharga tentang
dampak negatif dari pengelolaan perusahaan
yang tidak sehat dan pengabaian etika dalam menjalankan profesi, khususnya
profesi akuntan.
Berkaitan
dengan kasus di atas, sejumlah pertanyaan mendasar berikut relevan diajukan:
Apa yang menjadi sebab dari kebangkrutan Enron
dan Arthur Andersen? Dari segi etika, khususnya etika profesi
akuntan, apa yang bisa digali dari peristiwa tersebut? Dan pelajaran apa yang bisa diambil dari kasus tersebut untuk mengantisipasi
agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian? Tiga pertanyaan
inilah yang menjadi titik berangkat pembahasan dalam artikel ini.
Artikel
ini dibagi dalam empat butir. Butir pertama akan menganalisa akar dari
kebangkrutan perusahaan Enron, yang berfokus pada dua hal, yakni bagaimana
penerapan prinsip-prinsip tata kelola seperti akuntabilitas, transparansi, fairness serta tanggung jawab dalam
mengurus perusahaan dan bagaimana nilai-nilai etis profesi, khususnya etika
profesi akuntan diterapkan di dalamnya. Butir kedua akan berisikan pembahasan tentang berbagai ekspektasi etis publik sebagai
implikasi peristiwa tersebut dalam pengelolaan perusahaan dan kualitas profesi
akuntan. Butir ketiga berbicara tentang upaya
preventif intensif melalui perhatian pada pendidikan etika profesi sejak dini.
Butir keempat merupakan kesimpulan.
1.
Dua
Akar Kehancuran
Kehancuran
perusahaan Enron merupakan pukulan berat dalam bisnis. Dan peristiwa buruk
tersebut tidak pernah diduga oleh banyak orang, khususnya pelaku bisnis dan pengamat ekonomi, mengingat perkembangan
perusahaan Enron begitu pesat dalam kurun waktu tahun 90-an, bahkan sempat
tercatat sebagai perusahaan yang memiliki reputasi sangat baik di tingkat dunia[3].
Secara
umum, ada dua akar hancurnya Enron dan Arthur Anderson. Kedua akar itu adalah
tidak berjalannya tata kelola dan minimnya kepedulian pada etika dalam
menjalankan profesi akuntan. Faktor pertama sangat terkait dengan Enron, dan
faktor kedua sangat berhubungan dengan Arthur Andersen.[4]
1.1
Pengelolaan yang salah
Sumber
pertama kehancuran Enron adalah pengelolaan perusahaan yang tidak sehat[5].
Dalam bisnis modern kelanggengan sebuah perusahaan sangat tergantung pada
kualitas pengelolaan yang diterapkan. Pengelolaan sehat merupakan syarat bagi kelanggengan itu. Demikian
sebaliknya[6], kalau pengelolaan yang diterapkan tidak sehat,
maka masa depan perusahaan akan terancam. Aktivitasnya pun hanya bertahan dalam
waktu yang singkat. Itu berarti, prinsip-prinsip manajemen yang sehat menjadi
sebuah keharusan bagi bisnis modern[7].
Dengan alasan ini, maka good corporate
governance (GCG) yang berasaskan pada prinsip akuntabilitas, transparansi, fairness, dan tanggung jawab menjadi
penentu bagi kelangsungan perusahaan.[8]
Akan
tetapi dalam pengelolaan Enron prinsip-prinsip GCG itu tidak mendapat perhatian.
Deviasi terhadap keempat prinsip itu sangat menonjol dalam cara pengelolaan
tidak wajar yang dilakukan oleh Enron seperti pelaporan yang tidak tansparan,
pengawasan yang tidak melekat, serta penghilangan dokumen laporan keuangan[9].
1.1.1 Nihilnya Akuntabilitas
Terkait
dengan akuntabitilitas, menurut Leonard J Brook, mengutip Summary of Findings Power Report[10],
ada lima penyimpangan besar yang dilakukan oleh Enron. Pertama, minimnya upaya preventif dewan direksi yang
menyebabkan berkembangnya tindakan kelompok karyawan untuk memperkaya diri dengan
berbagai cara.[11]
Kedua,
adanya upaya menyembunyikan aset dan kewajiban dengan pendirian dan penggunaan
kemitraan seperti Chewco, LJMI dan LJM2 yang juga ditangani oleh karyawan Enron
sendiri untuk melakukan transaksi yang tidak dapat diatur dengan entitas
independen dan dirancang untuk mencapai hasil laporan yang positif dengan
mengabaikan pencapaian ekonomi yang jujur,
serta aturan-aturan akuntansi di Amerika Serikat.
Ketiga,
terjadinya transaksi yang tidak semestinya dengan jumlah begitu besar yang implikasinya sangat
signifikan dalam pelaporan keuangan Enron. Hal
ini dilakukan untuk memberi kesan
positif terhadap kondisi keuangan Enron.
Keempat,
terjadinya perlakuan yang salah terhadap akuntan. Enron membayar Arthur
Andersen dengan begitu mahal untuk mengaudit perusahaan Chewco dan LJMI, yang
adalah anak perusahaan Enron, namun fungsi advisorialnya
tidak berjalan, karena nasehat Athur Anderson tidak dijadikan sebagai dasar
pelaporan keungan, malahan membayar Arthur Andersen dengan tarif yang begitu
mahal agar tidak membongkar berbagai kekeliruan Enron.
Kelima, eliminasi
prinsip independensi pemilik perusahaan untuk membuat sebuah investasi ekuitas
substantif sekurang-kurangnya 3 persen dari aset special purpose entities (SPE) dan 3 persen sebagai berisiko di
seluruh transaksi serta independensi melakukan pengendalian terhadap SPE[12].
1.1.2 Pengabaian
Transparansi
Informasi
materi perusahaan yang akurat dan tepat waktu antara lain meliputi situasi
keuangan, kinerja perusahaan, manejemen perusahaan serta faktor risiko yang
mungkin timbul merupakan kerangka kerja corporate
governance. Dengan kata lain, penyebaran informasi secara terbuka, dan
objektif termasuk dalam laporan keuangan merupakan bagian dari pengelolaan
perusahaan. Inilah hakikat dari transparansi.
Enron
secara jelas mengabaikan hakikat transparansi tersebut, khusunya berkaitan
dengan laporan keuangan[13].
Enron berusaha menutupi kondisi keuangan
yang buruk dengan menghilangkan dokumen transaksi keuangan secara luas.
Penghilangan dokumen itu dilakukan untuk menghindari pertanggungjawaban
keuangan yang akuntabel. Yang paling buruk, Dewan Direksi dengan sengaja
mengijinkan Enron untuk melakukan kecurangan itu agar para investor dan
pemegang saham tidak menarik uangnya dari perusahaan. Untuk menjaga agar tindakan buruk itu tidak diketahui
publik, kebebasan auditor internal perusahaan dibungkam dalam menjalankan fungsi yang
sebenarnya. Auditor harus
mengikuti kemauan auditee, yang justru sikap ini sangat bertentangan dengan
tugas, dan wewenang, serta fungsi seorang auditor.[14]
1.1.3 Minimnya Tanggung Jawab
Kesalahan
pengelolaan itu diperparah dengan minusnya tanggung jawab yang diperlihatkan
oleh top management perusahaan. Pada
hakikatnya, prinsip tanggung jawab memuat dua hal, yakni di satu sisi
mengusahakan pengelolaan yang baik dengan mempertimbangkan dampak baik dan dampak
buruk seluruh perbuatan yang dilakukan secara
matang, di lain sisi berani menanggung reriko dari sebuah tindakan
atau keputusan yang dilakukan[15].
Dalam
konteks perusahaan, tanggung jawab top
management adalah mengembangkan perusahaan secara berkelanjutan dengan
menghindari segala hal yang merugikan perusahaan. Dengan kata lain, cost benefit analysis dijadikan oleh top
management sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambil keputusan
tentang perusahaan.
Dewan
Direksi adalah bagian dari top management.
Sesuai dengan tugas utamanya, Dewan Direksi mempunyai kewajiban fidusia, yakni meninjau strategi bisnis perusahaan secara
keseluruhan, memilih dan memberikan kompensasi eksekutif senior perusahaan,
mengevaluasi eksternal perusahaan dan mengevaluasi laporan keuangan perusahaan
serta memantau kinerja perusahaan secara keseluruhan[16].
Dewan Direksi juga bertanggungjawab untuk mengawasi lini bisnis
dan strateginya, termasuk memastikan kualitas pertanggungjawaban laporan
keuangan untuk menjamin kepercayaan investor dan pemegang saham. Karena itu
penyajian laporan keuangan yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung jawab
besar bagi manajemen perusahaan[17].
Namun
dalam pengelolaan, hakikat prinsip tanggung jawab tersebut tidak diindahkan
oleh Enron, khususnya Dewan Direksi.
Pengawasan Dewan Direksi terhadap manajemen
perusahaan sangat lemah. Bahkan,
tiga tugas besar status fidusia direktur, yakni ketaatan, loyalitas dan ketekunan[18]
sama sekali tidak dipejalankan. Dewan
Direksi justru mengembangkan sejumlah strategi bisnis utilitarianistik yang
merugikan masa depan perusahaan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, namun merugikan
stakeholders . Tindakan ini menurut
Doughlas M Branson merupakan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip Fiduciary Duty.[19]
1.1.4 Ketidakadilan
Prinsip
tata kelola lain yang dilanggar oleh Enron adalah fairness. Fairness
berkaitan dengan keadilan. Keadilan mempunyai pengertian yang sangat luas.
Namun, arti sederhana bisa diambil dari ungkapan Romawi bertuliskan tribuere cuique, artinya memberikan apa
yang menjadi hak orang[20].
Keadilan berkaitan dengan pengaturan hak dan kewajiban semua pemangku
kepentingan secara fair. Dengan kata lain, hak legal, hak ekonomis dan hak moral serta
kewajiban-kewajiban seperti ketaatan, konfidensialitas dan loyalitas menjadi
objek material dari keadilan [21].
Ini juga menjadi hakikat pengelolaan yang sehat. Dalam tata kelola, sebagaimana
ditegaskan oleh Adrian Sutedi, keadilan atau fairness terungkap dalam perlakuan yang sama terhadap pemegang
saham dengan keterbukaan inrormasi yang penting serta melarang pembagian untuk
pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam[22].
Peluang-peluang
yang memberi ruang ketidakseimbangan terhadap
hak dan kewajiban pada pihak-pihak tertentu serta membuat kebijakan
manipulatif merupakan praktik ketidakadilan dalam bisnis. Dan manajemen Enron melakukan hal ini. Seperti sudah disinggung dalam
butir sebelumnya, kalangan karyawan dan mitra memperkaya diri dengan mudah, karena lemahnya pengawasan Dewan Direksi. Ini
berarti, di satu sisi ada pihak yang diuntungkan, di lain sisi ada pihak yang
sangat dirugikan. Yang diuntungkan adalah mereka yang mempunyai andil dengan manejemen
perusahaan dan mendapat kesempatan untuk itu, seperti karyawan, sedangkan yang
dirugikan adalah yang sebaliknya, termasuk di dalamnya pemegang saham dan investor.
Dari
semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan perusahaan Enron
telah menerapkan tata kelola yang salah, karena melanggar prinsip-prinsip dasar good corporate governance yang berintikan pada empat nilai utama,
yakni akuntabilitas, transparansi, tanggung jawab serta keadilan. Pengabaian terhadap
prinsip-prinsip tata kelola demikian menyumbang
bagi kehancuran Enron.
1.2 Deviasi Etika Profesi Akuntan
Selain pengelolaan
yang tidak sehat, penyimpangan nilai-nilai etis profesi akuntan menjadi penyebab lain bagi kehancuran
Enron. Dengan kata lain, kebangkrutan Enron juga terjadi karena prinsip-prinsip
etika profesi, yang dalam hal ini adalah etika profesi akuntan, diabaikan dalam
tugas-tugas sebagai akuntan. Pelanggaran ini sangat jelas dilakukan oleh
lembaga akuntan bernama Arthur Andersen
(AA)[23].
Sebagai lembaga audit keuangan ternama, AA
seharusnya bertindak secara profesional, dalam arti melakukan audit berdasarkan
prinsip-prinsip formal audit[24].
Namun AA tidak melakukan hal ini. Sebagaimana dijelaskan di atas, Enron telah
melakukan berbagai kekeliruan, termasuk dalam pelaporan keuangan berbentuk
manipulasi data. Namun AA tidak mempertanyakan kekeliruan itu. Sebaliknya, AA berkompromi dengan perusahaan, bahkan
menawarkan jasa kepada Enron untuk turut memperbaiki kekeliruan yang menurut
hukum audit sudah jelas-jelas serharusnya menjadi penemuan mayor[25].
Ada empat
nilai utama etika profesi akuntan yang dilanggar oleh Arthur Andersen. Pertama, independensi. Independensi
berarti tidak tergantung pada kemauan atau kepentingan tertentu. Menurut
Michael Pakaluk setiap profesi memiliki independensi dalam melakukan tugasnya. Mengingat akuntan juga merupakan sebuah profesi, maka independensi juga menjadi bagian
prinsip bagi seorang akuntan. Akuntan
tidak boleh tunduk pada kepentingan tertentu entah kepentingan diri sendiri
ataupun kepetingan auditee, selain tunduk pada prinsip-prinsip audit dan kepentingan
umum[26].
Bahkan menurut Ronald F Duska, kepentingan publik harus mengatasi kepentingan-kepentingan
di luarnya.[27]
Dengan kata lain, seorang akuntan
haruslah berpendirian dalam tugasnya. Seorang auditor memang memberi pelayanan
nasihat manejemen kepada perusahaan.
Namun pelayanan itu bertujuan untuk melihat sejumlah alasan-alasan objektif
terhadap data perusahaan yang diaudit. Di sini kemandirian sangat penting. Tugas
auditor adalah membuat laporan objektif tentang segala hal dalam pandangan
mereka yang mungkin menjadi bahan pertimbangan bagi investor untuk membuat
keputusan investasi[28].
Akan
tetapi prinsip demikian tidak menjadi perhatian bagi Arthur Andersen. AA justru
menempatkan kepentingan di atas
prinsip etis tersebut. Arthur Andersen malah melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan prinsip independensi, yakni mendiskusikan dan mengakomodir
kekeliruan yang dilakukan oleh Enron.[29] Selain
bayaran yang tinggi, banyaknya Akuntan Arthur Anderson yang menjadi auditor
internal Enron menunjukkan bahwa AA tidak berpegang teguh pada independednsi,
karena kondisi ini justru sarat dengan kepentingan. Dengan kata lain, para auditor telah
terkooptasi oleh ketergantungan pada pihak
lain sehingga ia bukan lagi orang yang bebas dan otonom untuk
membela prinsip-prinsip profesinya[30].
Kedua, adalah
integritas. Integritas merupakan elemen karakter dasar bagi pengakuan
profesional. Integritas berkaitan
dengan kualitas yang dengannya kepercayaan publik muncul, sekaligus menjadi
ujian bagi pengambilan keputusan. Menurut Steven MR Covey, orang yang mempunyai
integritas adalah dia yang berpegang pada prinsip dan menjadikan prinsip itu
sebagai karakternya. Dia memiliki keutuhan diri. Ia tahu apa yang harus
dilakukan dan apa yang harus tidak dilakukan. Dia juga tidak mudah dipengaruhi
oleh iming-iming. Dia berani mengatakan benar kalau memang benar, salah kalau
memang salah.[31]
Ketika ia berhadapan dengan kekosongan standar, aturan, dan petunjuk dalam menghadapi pendapat yang bertentangan,
seorang yang berintegritas mampu mengambil keputusan berdasarkan suara hatinya.
Pengertian
Steven Covey di atas menurut Mickhael Pakaluk juga berlaku bagi seorang akuntan.[32]
Ini berarti, seorang akuntan harus berani mengatakan kebenaran, serta tunduk
pada prinsip-prinsip profesinya secara konsisten,
dan
tidak mudah terpengaruh oleh godaan.[33]
Dalam
praktiknya, hakikat integritas itu
dilanggar oleh AA. AA dengan begitu mudah tergoda oleh uang. Bahkan uang
menjadi pegangan dan mampu membeli dirinya dan profesinya. Seperti disebutkan di atas Arthur
Anderson tahu bahwa Enron telah melakukan penghilangan data penting berupa
dokumentasi laporan keuangan. Berhadapan
dengan situasi seperti ini seharusnya auditor mempertanyakan dan menggali alasan
Enron mengapa melakukan penghilangan itu.
Namun AA
tidak melakukan tugas itu. AA justru melakukan kompromi dengan Enron dalam
kesalahan, yang mana sikap ini menurut Ronald Duska merupakan pelanggaran besar dalam etika profesi
akuntan dan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip audit[34].
Dengan kompromi, AA telah mengabaikan tugas seorang akuntan untuk berpijak pada
akuntansi, dan peranannya untuk mengamankan
kepercayaan, kepentingan fungsi yang baik dari pasar dengan memberikan
kenyataan keuangan secara objektif, akuntabel dan dapat diverifikasi[35].
Ketiga adalah
objektivitas. Objektivitas adalah ungkapan independen. Prinsip ini memuat sikap imparsial, jujur secara
intelektual, bebas dari konflik kepentingan. Objektivitas berkaitan dengan
kebenaran faktual, bukan pada penafsiran. Ini juga merupakan bagian prinsip
yang harus dipegang oleh seorang akuntan. Objektivitas
seorang akuntan terlihat pada bagaimana ia menempatkan data dalam mengevaluasi
dan menyimpulkan hasil auditnya. Jelas bahwa bagi seorang akuntan data menjadi sumber dan
dasar untuk memberikan penilaian terhadap situasi keuangan yang diaudit. Inilah
menurut Mark Cheffer sikap objektif.[36]
Dalam
perilaku AA sikap-sikap di atas
juga tidak diindahkan. Data justru diabaikan,
digantikan dengan kepentingan. Sudah
jelas-jelas AA menemukan masalah dalam
laporan keuangan Enron bahwa Enron telah menghancurkan data-data keuangan yang mempengaruhi, bahkan menentukan arah situasi
buruk keuangan perusahaan, namun AA tidak melaporkan penemuan itu, melainkan berkompromi dengan kesalahan perusahaan dengan
menawarkan diri menjadi konsultan[37].
Dalam
kaitan dengan itulah menurut Mikhael, ada tiga konsiderans yang dilanggar oleh
AA. Pertama,
fungsi untuk menyatakan kebenaran dengan
memperlihatkan diri sebagai seorang peneliti berpendidikan. Kedua, fungsi
untuk melakukan verifikasi atas penemuan-penemuannya, dan ketiga, melayani kepentingan yang lain yang membutuhkan hasil
pekerjaannya. Dalam hal ini eksistensi seorang akuntan adalah melayani, bukan
mencari kepentingan diri atau melindungi diri.[38]
Prinip keempat yang dilanggar oleh AA adalah
tanggung jawab kepada publik. Ronald F Duska menyatakan bahwa peranan dan
konsistensi menjalankan kewajiban untuk mempertahankan integritas, dan otonomi,
serta kejujuran dalam memberikan
pernyataan finansial merupakan wujud dari tanggung jawab seorang akuntan kepada
publik[39].
Kendati seorang akuntan mempunyai hubungan dengan kliennya, namun hubungan itu
tetap dalam kerangka profesi. Dengan
kata lain, hubungan auditor dengan klien bukanlah hubungan privat, melainkan
hubungan profesional.
Pernyataan
di atas memuat makna bahwa konflik antara kepentingan
klien
dengan kepentingan publik harus diatasi
oleh seorang auditor dengan loyal pada prinsip-prinsip audit. Seorang auditor
tidak bertanggung jawab pada klien. Ia bertanggungjawab pada publik sebagai
konsekuensi dari tuntutan profesinya. Melihat
hal ini, Ronald F Duska setuju dengan ungkapan Justice Burger yang menyatakan bahwa akuntan adalah “a public watchdog function”[40].
Singkatnya, tanggung jawab
seorang akuntan publik adalah mengutamakan kepentingan pihak ketiga, bukan
kepentingan pribadi klien maupun kepentingan pribadi.
Hakikat
tanggung jawab di atas sangat diabaikan oleh Arthur Andersen dalam menjalankan
tugasnya sebagai akuntan eksternal Enron.
Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, AA tidak bisa membedakan mana kepentingan
pribadi, dan klien, serta mana kepentingan publik.
Kepentingan pribadi dan klien justru mengalahkan
kepentingan
publik. AA juga mengabaikan prinsip-prinsip audit sebagai dasar menjalankan
tugasnya.[41]
Semua ini merupakan bukti nyata minimnya tanggung jawab profesi.
Deviasi
moral yang dilakukan oleh AA telah memiliki implikasi yang sangat mendasar
bagi reputasinya sebagai
lembaga akuntan yang ternama dan eksistensinya di depan publik. Dengan
penyimpangan itu, kepercayaan publik
terhadap lembaga terhenti dan
hilangnya kepercayaan ini telah mengancam
eksistensi dan masa
depan perusahaan. Penyimpangan terhadap semua prinsip etis di atas menunjukkan bahwa AA tidak
profesional. AA tidak bisa memilah-milah kepentingan
pribadi dari kepentingan publik, tidak mengindakan independensi,
serta integritas, objektivitas, yang
keempat nilai-nilai ini merupakan inti etika profesionalisme seorang akuntan[42].
2.
Ekpektasi Etis terhadap Tata kelola dan Profesi Akuntan
Kebangkuran
Enron membawa pelajaran yang berharga tidak hanya bagi Enron dan Athur Andersen
sendiri, melainkan juga bagi masyarakat dunia. Dengan kata lain, peristiwa buruk itu mempunyai dampak yang luas,
sekaligus membangkitkan ekspektasi etis dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang ekonomi, profesi, maupun bidang
politik. Ekspektasi etis itu adalah harapan dan kesadaran
baru di masyarakat luas akan pentingnya penerapan etika dalam berbagai bidang
kehidupan manusia. Peristiwa buruk demikian juga menjadi
antitesis
bagi pandangan kelompok yang memisahkan
etika dan moral dari kegiatan bisnis, yang diistilahkan Joseph W Weis dengan
kelompok penganut mitos bisnis amoral[43].
Artinya, memandang moral sebagai sesuatu yang terpisah dari etika merupakan
sesuatu yang keliru. Karena fakta kehancuran Enron telah membuktikan hal itu.
Pertanyaannya,
apa substansi ekspektasi etis dari peristiwa tersebut?
Dengan pertanyaan lain, pelajaran moral apa yang
bisa ditarik dari kehancuran Enron dan Arthur Andersen? Ada dua hal sebagai jawaban
pertanyaan ini, yakni tuntutan
penerapan tata kelola secara konsisten dan peningkatan kesadaran para akuntan
untuk mempraktikkan etika profesi.
2.1 Tuntutan Aplikasi Good Corporate Governance
Terkait
dengan tata kelola, peristiwa Enron telah memunculkan harapan baru, yakni ekspektasi
etis di masyarakat berkaitan dengan kualitas
pengelolaan perusahaan di belahan dunia,. Dan ekspektasi etis ini telah mendapat tanggapan dari berbagai perusahaan baik perusahaan besar maupun perusahaan kecil.
Leonard J Brooks menunjukkan bahwa di
sejumlah negara, seperti Amerika
Serikat, Kanada, Australia dan Inggris,
kesadaran untuk memperbaiki kerangka kerja tata kelola organisasi ke arah yang
lebih baik demi mengembalikan kepercayaan dalam sistem pasar modal
perusahaan mengalami peningkatan[44].
Terkait
dengan itu Brooks mencatat sekurang-kurangnya tujuh kesepakatan dalam
upaya memenuhi harapan publik.[45] Pertama,
pentingnya klarifikasi peran, tanggung jawab dan akuntabilitas dari Dewan Direksi, subkomitenya, dan para direktur pribadi, serta auditor. Kedua, penurunan konflik kepentingan
yang mempengaruhi para direktur, eksekutif dan auditor sehingga pihak-pihak ini
melatih kesetiaan, penilaian independen dan objektivitas demi kepentingan
terbaik para pemegang saham atau perusahaan, atau dalam kasus auditor untuk
kepentingan publik. Ketiga,
memastikan bahwa para top management
memiliki informasi yang cukup mengenai rencana dan kegiatan perusahaan, cakupan kebijakan dan pengendalian internal untuk memastikan
kepatuhan, termasuk keprihatinan pada whislte blower. Keempat, memastikan bahwa para direktur memiliki kompetensi
keuangan yang memadai dalam keahlian yang diperlukan.
Kelima,
memastikan bahwa laporan keuangan dibuat dengan akurat,
lengkap, dapat dipahami dan bersifat transparan. Keenam, memastikan standar akuntansi memadai untuk melindungi
kepentingan para investor. Ketujuh,
memastikan bahwa pengaturan dan pengawasan auditor perusahaan publik, seperti
janji dan porsi parameter, apakah telah mencukupi atau tidak.
2.2 Kepedulian akan Etika Profesi Akuntan
Ekspektasi etis publik tidak hanya pada tata kelola,
tetapi juga kualitas profesi akuntan.
Peristiwa Enron dan Arthur Andersen telah membangkitkan kesadaran baru untuk
menempatkan etika profesi secara konsisten sebagai pegangan dalam profesi akuntan. Dengan kata lain, kedua kasus tersebut
memberikan kesadaran yang jauh lebih besar terhadap
masalah dan tren etika yang sedang berjalan, termasuk konflik
kepentingan pribadi, kontrol
kepentingan pribadi, tugas fidusia direksi kepada pemegang saham dan auditor
terhadap kepentingan umum, serta
makna sebuah bisnis yang baik dalam mengembangkan budaya etis dalam profesi akuntan. Budaya etis itu harus
didasarkan pada kejujuran, keadilan, integritas, objektivitas, tanggung jawab, dan kepercayaan, serta penghargaan kepada
kepentingan pemangku kepentingan.
Itu berarti, kegagalan kedua perusahaan meningkatkan perhatian pada etika dan
reputasi secara serius. Apa yang dikatakan oleh Richard T De George bahwa etika adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bisnis dan menjadi lem yang merekatkan semua
pihak yang terkait dalam bisnis[46] semakin diakui oleh pelaku bisnis. Ini mengubah paradigm lama yang hanya melihat risiko
ekonomi sebagai dasar pertimbangan dengan paradigm baru yang menempatkan risiko
etis sebagai dasar pertimbangan dalam menjalankan bisnis.
Besarnya
perhatian pada etika profesi akuntan itu diperkuat dengan kehadiran dokumen
bernama Sarbanes-Oxley Act (SOX). Selain
landasan legal formal, bagi profesi akuntan, SOX juga
memberikan kejelasan tentang peran, tanggung jawab dan keanggotaan
subkomite audit atas dewan, karena dokumen ini memuat penegasan tentang
kedudukan subkomite audit yang secara langsung bertanggungjawab atas janji,
kompensasi dan pengawasan, serta tugas-tugas subkomite audit
seperti
membuat prosedur untuk menerima dan menanggapi keluhan terkait
dengan akutansi, audit, pengendalian internal, termasuk menetapkan prosedur
yang memungkinkan karyawan mengajukan keluhan secara anonim, serta menyetujui
setiap layanan nonaudit yang akan diberikan oleh auditor[47].
Dari uraian panjang di atas jelaslah bahwa tuntutan
untuk menjalankan profesi berdasarkan
standar moral semakin gencar. Nilai-nilai etis bahkan dilihat sebagai ukuran
yang menentukan profesionalitas seorang akuntan. Menurut Mark Cheffers, internalisasi dan penerapan etika secara maksimal akan
menghindari kehancuran profesi[48].
Inilah pelajaran berharga dari kasus Arthur Andersen.
3.
Pentingnya Etika Profesi Akuntansi dalam
Pendidikan
Terkait
dengan pernyataan akhir butir di atas, pertanyaan yang relevan dimunculkan, upaya
apa yang diperlukan agar etika profesi sungguh mendarah daging bagi para akuntan? Jawabnya
adalah internalisasi nilai-nilai etis sejak dini. Dan wadah yang sangat
strategis untuk itu adalah dunia
pendidikan. Sebagaimana ditegaskan oleh Filsuf klasik Yunani, Plato, dunia
pendidikan merupakan wadah yang sangat tepat
dalam pembentukan kualitas pribadi seseorang[49].
Masa pendidikan merupakan kesempatan untuk mempersiapkan para calon akuntan sebelum
dia terjun ke masyarakat. Di dalamnya mutu kepribadian seorang akuntan dibentuk.
Jadi, dalam masa pendidikan akuntan
mengalami humanisasi dan hominisasi,
sebagaimana ditegaskanoleh N Driyarkara[50].
Karena
masa sekolah merupakan humanisasi dan hominisasi,
maka
mutu pendidikan perlu menjadi perhatian. Dan pendidikan yang bermutu adalah
pendidikan mengembangkan kepribadian peserta didik secara komprehensif. Artinya, bukan hanya kemampuan kognitif
berupa pengetahuan yang memadai perlu
dikembangkan, tetapi juga kemampuan afektif dan psikomotorik[51].
Dalam mengembangkan dua aspek terakhir,
etika harus dijadikan sebagai bagian integral pendidikan. Berkaitan dengan
profesi akuntan, etika profesi akuntan menjadi sangat relevan. Ini merupakan upaya
untuk membekali para calon akuntan tentang prinsip-prinsip etis sebelum terjun ke masyarakat. Internalisasi
etika profesi tidak terjadi dalam waktu yang singkat dan tidak pula terjadi
dengan sendirinya. Proses dan waktu yang
panjang diperlukan untuk itu. Dan awal dari proses dan waktu yang panjang itu
adalah dunia pendidikan.
Memang harus diakui bahwa pengajaran
mata kuliah etika profesi tidak secara otomatis
membuat kaum professional,
termasuk akuntan berperilaku etis, namun minimal kesadaran mereka tentang
nilai-nilai moral dibuka.
Dengan kesadaran itulah mereka dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, mampu mengambil keputusan secara tepat, serta mencari solusi atas masalah yang dihadapi di
lapangan di kemudian hari. Seperti dikatakan oleh Socrates, pengetahuan tentang
apa yang baik dan yang buruk merupakan dasar untuk menilai apa yang baik dan
apa yang buruk[52]. Ini berarti pengetahuan merupakan langkah
awal dalam membentuk perilaku dan dasar penilaian etis. Kasus
Arthur Andersen telah menjadi sebuah pelajaran
berharga bahwa minimnya kesadaran etis merupakan akar kehancuran pada masa depan profesi.
Dalam
mengantisipasi agar hal ini tidak terjadi, etika profesi memiliki andil besar. Karena itu etika profesi sangat
relevan bahkan mendesak dijadikan sebagai bagian integral pendidikan
akuntansi maupun Pendidikan Profesi Akuntan. Kedudukan akuntan sebagai jantung atau hati dari korporasi[53]
mengisyaratkan bahwa seorang akuntan harus mempunyai kesadaran yang memadai
tentang etika profesi demi menjamin mutu
pekerjaan dan
eksistensi perusahaan.
Ada empat
alasan mengapa etika profesi perlu menjadi bagian pendidikan akuntan[54].
Pertama, sebagaimana sudah terlihat
dalam kasus Arthur Andersen, seorang
akuntan berhadapan dengan masalah yang
kompleks, yang jawabannya kadang-kadang tidak bisa disandarkan pada keyakinan
yang dimilikinya maupun yang ada di
masyarakat. Berhadapan dengan situasi itu, pertanyaan yang muncul, ke mana ia harus mencari jawaban?
Jawabanya adalah pada suara
hatinya[55].
Namun suara hati harus terus dibina, dan pembinaan itu terjadi salah satunya
melalui pendidikan.[56]
Kedua, di
lapangan seorang akuntan harus mengambil keputusan berhadapan dengan berbagai
nilai yang dihadapinya,
bahkan bisa saja terjadi dilemma, seperti yang dialami Arthur Andersen. Dalam
berhadapan dengan situasi dilematis ini, etika memberikan insight bagi sang akuntan. Etika akan mendorongnya untuk aktif mencari
alasan-alasan yang memadai mengapa ia
menolak sesuatu, tetapi menolak yang lain. Dengan kata lain, etika membuat seorang
akuntan bertindak secara rasional dan objektif dalam menjalankan tugasnya
kelak.
Ketiga, terkait
dengan alasan kedua,
etika mengantar seorang akuntan untuk mengkritisi apa yang dihadapi dan dikerjakan agar layak dijalani. Sebagaimana dikatakan oleh
Socrates, hidup yang tidak teruji tidak layak dihidupi[57].
Bagi seorang akuntan ini penting agar semakin memberi makna bagi profesinya,
dan terhindar dari konflik kepentingan.
Keempat,
pendidikan etika profesi membekali calon
akuntan dengan kemampuan yang memadai dalam mengidentifikasi
berbagai persoalan di lapangan dan menerapkan prinsip-prinsip dasar di tengah
persoalan itu secara konsisten dalam mengemban profesinya. Dengan kejernihan pikiran ini kelak calon akuntan bisa
bertindak secara benar. Dengan dasar inilah calon akuntan yang berintegritas,
otonom, bertanggungjawab, bertindak objektif, memiliki kepedulian pada
kepentingan umum, yang semuanya menjadi prinsip-prinsip utama bagi seorang
akuntan dan menjadi ciri-ciri karakter akuntan profesional[58]
akan terbentuk. Semua prinsip ini merupakan muatan dari etika profesi akuntan.
4.
Penutup
Peristiwa
selalu mempunyai makna dan makna itu harus digali secara mendalam agar bisa
menjadi pelajaran berharga di kemudian hari. Suatu peristiwa merupakan kesaksian
sejarah. Namun kesaksian sejarah itu bukan tanpa makna, sebaliknya sarat dengan
maknya. Dengan demikian peristiwa sejarah juga bisa memuat fungsi penyebaran
nilai.[59]
Jika pernyataan ini dikaitkan dengan Enron dan Arthur Andersen, maka jelaslah kebangkrutan
keduanya pada tahun 2001 merupakan kesaksian sejarah yang sarat dengan pelajaran
moral yang berharga.
Ada dua
pelajaran moral berharga yang
bisa diambil dari peristiwa tersebut. Pertama,
pentingnya pengelolaan yang sehat dalam menangani bisnis. Inti pengelolaan yang sehat itu adalah pemberlakuan
prinsip akuntabilitas, transparansi, fairness
serta tanggung jawab dalam menangani bisnis atau perusahaan. Kesadaran dan tekad untuk konsisten untuk menerapkan semua
prinsip ini akan menghindari kehancuran bisnis.
Kedua, dalam
menjalankan profesi, seorang profesional harus berpijak pada nilai-nilai etis.
Akuntan sebagai profesi tidak luput dari tuntutan ini. Karena itu pula seorang akuntan
harus menjaga profesionalisme dalam menjalankan tugasnya dengan komitmen pada prinsip-prinsip formal
akuntansi dan etika profesi akuntan yang berintikan pada integritas, otonom,
tanggung jawab, dan independen, objektif, serta berpihak pada kepentingan umum.
Tuntutan semakin besar untuk memperhatikan nilai-nilai etis dalam profesi akuntan mengisyaratkan pentingnya
menempatkan etika profesi sebagai bagian integral dalam pendidikan akuntansi
dan profesi akuntan. Dengan kata lain, etika profesi
akuntan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan calon-calon
akuntan[60].
Tujuannya adalah untuk memberikan mereka modal hidup dalam
mengemban profesi berbentuk kemampuan untuk membedakan yang baik dari yang
buruk, yang benar dengan yang salah, kesadaran yang besar tentang
prinsp-prinsip etis. Kelak dengan berbekalkan semua ini mereka dapat mengambil
keputusan yang tepat dalam pekerjaannya. Dan modal yang mendasar itu didapatkan
melalui pendidikan etika profesi. Karena itulah tuntutan untuk menempatkan etika
profesi sangat tepat dijadikan sebagai bagian integral dari pendidikan
calon-calon akuntan maupun pendidikan profesi akuntan.
***
Daftar Pustaka
Bertens, K (
2000). Pengantar Etika Bisnis,
Yogyakarta: Kanisius.
Bloom,
Benjamin S. (1956). Taxonomy of
Educational Objectives: The Classification
of Educational Goals, New York: David McKay.
Branson,
Douglas M, (1993). Corporate Governance, Virginia: The Michie
Company.
Brooks,
Leonard J & Paulin Dunn, (2011). Etika
Bisnis & Profesi untuk Direktur,
Eksekutif,
dan Akuntan Buku 1 dan 2, terjemahan Kanti Pertiwi,
Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Byrnes, Nanette Byrnes, et al, “Publik Accounting in Crisis”, Business Week,
January 28, 2002.
Carrol,
Archie B and Ann K Buchholt, (2009). Business
& Society: Ethics and
Stakeholder
Management,
South-Western: Cengage Learning.
Cheffers,
Mark & Michael Pakaluk, (2007), Understanding Accounting Ethics, 2nd
edition, Massusetha: Allan
Davis Press.
Covey,
Steven M R with Rebecca R Merril, ( 2008). The
Speed of Trust: The One
Thing
That Changes Everything, New York: Free Press.
De
George, Richard T, ( 2003). The Ethics of
Information Techonolgy and Business,
United Kingdom: Blackwell.
Duska,
Ronald F Duska and Brenda Shay Duska. (2006). Accounting
Ethics, USA:
Blacwell Publishing.
McPhail,
Ken and Diane Walters, (2009). Accounting
& Business Ethics, London
and New York: Rougledge
Taylor & Francis Group.
Pakaluk,
Michael & Mark Cheffers, (2011). Accounting Ethics and the
Near
Collapse of The World’s Financial System, Massachusetts: Alen
Daved Press.
Plato,
(1997). Rebublic, translated by Jhon
Lleweyln Davies and David James
Vaughan, Great Britain:
Wordsworth Classics of World Literature.
Signour,
L Josep, (2010). Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral terhadap Perilaku
Bisnis
Kontemporer, Jakarta: Penerbit Obor.
Sihotang,
Kasdin, (2009). Filsafat Manusia: Upaya
Membangkitkan Humanisme,
Jakarta: Kanisius.
Sihotang,
Kasdin, (2014). Kerja Bermartabat: Kunci
Meraih Sukses, Jakarta:
Penerbit Universitas Atma
Jaya.
Sudarminta, J., (2013), Etika
Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan
Teori
Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius
Sularto,
St, ed, (2006). Karya Lengkap Driyarkara,
Jakarta & Yogyakarta:
Gramedia & Kanisius.
Suseno,
Franz Magnis, (1985), Etika Dasar:
Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral, Yogyakarta:
Kanisius.
Sutedi,
Adrian, (2011). Good Corporate Governance,
Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Tredennick,
Hugh & Harold Tarrant, (2003). Plato:
Hari-hari Terakhir Socrates
Euthyphro,
Apology, Crito, Phaedo, terj. Eleonora Brighita, Jakarta: Elexmedia
Komputindo.
Weis, Joseph W, (2000). Business
Ethics: A Stakeholder and Issues Management
Approach, South Western:
Thomson.
BIODATA PENULIS
Kasdin Sihotang, lahir di Huta Godung, Kecamatan
Parlilitan, Kabupaten Humbang
Hasundutan, Sumatera Utara, 9 Juni 1966. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD
Negeri, Huta Godung (1981), pendidikan menengah di SMP Santa Maria, Pakkat
(1983), dan SMA Seminari Menengah,
Pematang Siantar (1987). Meraih gelar S1 (1993) dan S2 (2004) dari Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Sejak 1996 menjadi staf inti Pusat
Pengembangan Etika (PPE), dan tahun 2000 menjadi dosen tetap di Fakultas
Ekonomi untuk Filsafat dan Etika Bisnis, serta Etika Profesi Akuntan. Karya-karyanya berbentuk opini pernah dimuat di sejumlah media cetak nasional seperti Kompas, Suara Karya, dan Seputar Indonesia, The Jakarta Post
dan Suara
Pembaruan. Karya berbentuk buku antara lain Filsafat Manusia:Upaya Membangkitkan Humanisme ( Kanisius, 2013,
cet. ke-6); Kerja Bermartabat: Kunci
Meraih Sukses (Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014). Menyumbang
artikel dalam beberapa buku seperti Handbook
of Modern Secretary (PPM, 2010); Moralitas
Lentera Peradaban ( Kanisius, 2011), Civic
Education ( Fidei, 2011), Critical
Thinking (Sinar Harapan, 2012), Pendidikan
Pancasila (Penerbit Universitas Atma Jaya, 2013), dan Wacana Tubuh dan Kedokteran ( Penerbit Universitas Atma Jaya,
2014). Selain itu menjadi editor sejumlah buku seperti Restrukturisasi
Menuju Kemandirian (Unika
Atma Jaya, Jakarta,
2000); Politik Katolik Politik Kebaikan Bersama (Penerbit Obor, 2008); Teropong Pendidikan Kita: Antologi Artikel2007-2008 (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 2008); Opini Pendidikan (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 2008), Ilmu Politik (
Penerbit Universitas Atma Jaya, 2013), Hak
Asasi Manusia (Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014), Literasi Informasi
(Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014) dan
Determinasi Kesesehatan Masyarakat ( Penerbit Universitas Atma Jaya, 2014).
Pada 2008, mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional atas
artikel berjudul “Peran Sosial Perguruan Tinggi” yang diterbitkan harian Suara Pembaruan, 7 Juli 2007. Kini
menjadi Koordinator Unit Pelaksana Teknis Matakuliah Pengembangan Kepribadian
(UPT MPK) Unika Atma Jaya, Jakarta dan penulis tetap rubrik etika di Harian Suara Pembaruan.***
[1] Bdk.
Leonard J
Brooks & Paulin Dunn (2011), Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur, Eksekutif, dan Akuntan Buku 1, terjemahan Kanti
Pertiwi, Jakarta: Penerbit
Salemba Empat, hal. 91.
[2]Dalam perjalannnya sepanjang akhir periode
1990-an, pergerakan saham perusahaan Enron sangat menggembirakan. Saham
perusahaan ini naik secara perlahan-lahan, namun meyakinkan dengan rentang perdagangan $20-
$40. Dalam beberapa bulan awal milenium baru, harga saham Enron melonjak
menjadi $ 70. Selama tahun 2000 saham Enron diperdagangkan di kisaran $ 60
sampai $90 dan mencapai puncaknya pada
bulan Agustus 2001 dengan harga $ 90.56. Peningkatan drastis harga saham ini
menunjukkan tingkat kepercayaan pasar sangat besar pada Enron. Namun sesuatu
yang mengejutkan terjadi bagi Enron pada
tahun 2001. Pada tahun itu perkembangan
perusahaan mengalami antiklimaks. Perdagangan saham menurun drastis hingga sampai
pada satu titik di mana saham Enron berada pada titik nol. Pada 2 Desember 2001
manajemen perusahaan Enron meminta perlindungan dari kreditur di bawah
pengawasan US Securities Act. Pada
tanggal 2 April 2002 sahamnya hanya bernilai 24 sen pada pasar over the counter, yang artinya tidak
terdaftar pada pasar bursa saham utama. Ini berarti perusahaan Enron mengalami
gejala kebangkurtan (Bdk. Leonard J Brooks, op.cit.,
hal.89.
[3] Ibid., hal. 89.
[4] Faktor kedua bersifat
korelasional dengan faktor yang pertama.
Artinya, kehancuran Enron juga karena tidak diterapkannya etika dalam
menjalankan proesi akuntan. Namun di paper ini kedua faktor dipisah dalam
uraian dengan tujuan memberi tekanan pada pentingnya dua aspek dalam kegiatan
bisnis, yakni pengelolaan dan etika dalam kerja.
[6] Bdk.
Richard T de George, ( 2003). The Ethics
of Information Techonolgy and Business,
United Kingdom: Blackwell, hal. 37.
[7] Bdk.
Leonard J Brooks & Paul Dunn ( 2012), Etika
Bisnis dan Profesi untuk Direktur, Eksekutif dan Akuntan, cet.ke- 5, Buku
2, Jakarta: Salemba Empat, hal. 2-40.
[8] Ada empat prinsip
dasar tata kelola, yakni akuntabilitas, transparansi, dan keadilan serta tanggung jawab.
Keadilan menjamin perlindungan hak para pemegang saham dan menjamin
terlaksananya komitmen dengan para investor. Transparansi mewajibkan adanya
suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas dan dapat
diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan dan
kepemilikan perusahaan. Akuntabilitas menjelaskan peran dan tanggung jawab
serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manejemen dan
pemegang saham sebagaimana yang diawasi oleh Dewan Komisaris. (Lihat Archie B. Carrol and Ann K
Buchholtz (2009). Business & Society:
Ethics and Stakeholder Management, South-Western: Cengage Learneng, hal.
122. Juga lihat
Adrian Sutedi, Good Corporate Governance,
Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 4.
[9] Dengan merujuk laporan Power Report, Leonard J Brooks menyatakan bahwa pada tanggal 16
Oktober 2001 Enron mengumumkan bahwa perusahan mengambil $ 544 juta setelah
pajak yang dibebankan pada laba yang terkait dengan transaksi LJM2
Co-Investment LP, menjadikan Fastow sebagai mitra, padahal Fastow adalah bagian
dari perusahaan. Enron juga mengumumkan pengurangan ekuitas pemegang sehamnya
sebesar$ 1.2 miliar yang berkaitan dengan transaksi dengan entitas yang sama.
Kurang dari satu bulan, Enron membuat laporan baru tentang kondisi keuangan
yang keliru terkait dengan transaksinya dengan kemitraan Fastow yang lain dan
tambahan entitas pihak terkait, yakni Chewco Investment, yang dikelola oleh
karyawan Enron Global Finance. Ditemukan pula bahwa ada penyajian kembali
seperti yang sebelumnya dibebankan pada laba dan pengurangan ekuitas pemegang
saham yang jumlahnya sangat besar untuk periode 1997 hingga 2001, karena
kesalahan akuntansi terkait transaksi dengan kemitraan Fastow yang lain, LJM
Cayman, LP dan tambahan entitas pihak terkait, Chewco Investment yang dikelola
oleh Enron Global Enron. Dalam laporan ini
Enron ada pengurangan rugi laba sebesar $ 248 juta dari $ 979 pada tahun
1999 dan $299 juta dari total $ 979 juta
pada tahun 2000. Penyajian ulang menyebabkan pengurangan ekuitas
pemegang saham yang dilaporkan pada tahun 1997 yang besarnya $258 juta dan pada
tahun 1998 $ 391 juta, pada tahun 1999 $ 710 juta dan pada tahun 2000 # 754
juta. (Bdk Leonard J Brooks, Buku 1, op.cit.,
hal. 90-92).
[11] Dilaporkan
bahwa Fastow perusahaan yang ditangani oleh karyawan Enron memperoleh uang sebesar $ 30 juta, demikian
juga Kopper mendapat $ 10 juta ( Lihat Leonard J Brooks, op.cit., hal. 87).
[12] Kondisi
ini harus dipenuhi menurut aturan akuntan AS agar Enron bisa mencatat keuntungan
dan kerugian transaksi dengan SPE serta aset dan kewajiban SPE tidak dimasukkan
dalam neraca Enron walaupun Enron dan SPE berkaitan erat (Bdk. Mark Cheffer & Michael
Pakaluk, (2007), Understanding Accounting
Ethics, Massuchette: Allen Davis Press, hal. 91-94.
[13] Dalam
tata kelola perusahaan, laporan keuangan yang transparan mempunyai korelasi dengan tingkat kepercayaan
para investor dan pemegang saham. Di negara-negara maju, para investor bersedia
memberi premium yang cukup tinggi kepada perusahaan yang menerapkan prinsip
transparansi dengan konsisten. Hal ini ditemukan oleh Mc Kinsey (Lihat, Adrian
Sutedi, op.cit., hal. 57).
[14] Bdk.
Ronald F Duska and Brenda Shay Duska, (2006), Accounting
Ethics, USA: Blacwell Publishing, hal. 107.
[15] Bdk.
Kasdin Sihotang, (2014), Kerja Bermartabat:
Kunci Meraih Sukses, Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, hal. 157.
Lihat juga Ronald F Duska, op.cit.,
hal. 156.
[16] Bdk.
Joseph W Weis, (2000). Business Ethics: A Stakeholder and Issues
Management Approach, South Western: Thomson, hal. 140.
[21] Yang
dimaksudkan dengan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan kesejahteraan
secara ekonomis meliputi hak mendapatkan gaji atau upay yang adil, hak
mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja dan hak mendapatkan bagian
bonus atau insentif karena prestasi. Hak hukum berarti hak untuk diperlakukan
secara sama sesuai dengan aturan-aturan atau norma-norma hukum yang berlaku
dalam perusahaan. Sementara hak moral adalah hak atas kebebasan suara hati, hak
atas rahasia pribadi dan hak atas perlakuan yang sama. Termasuk dalam hak moral
adalah melaporkan kecurangan perusahaan, termasuk whistle blowing (Bdk. Kasdin Sihotang, op.cit.,
hal. 167-179).
[23] Dalam
kasus ini WorldCom juga mempunyai andil bagi kehancuran Enron. Namun penulis
membatasi diri pada Enron dan Arthur Andersen saja, karena menurut penulis AA
sudah mereprentasikan pelanggaran etis dalam bidang akuntansi.
[26] Bdk.
Michael Pakaluk & Mark Cheffers, (2011),
Accounting Ethics and the Near Collapse
of The World’s Financial System, Massachusetts: Alen Daved Press, hal.
277.
[27] Tentang
hal ini Ronald F Duska mengatakan, “It discusses four concepts that relate to
independence: (1) threats, (2) safeguards, (3) independence risk, (4) significance of threats/effectiveness of safeguards”.
( Bdk Ronald F Duska, opt.cit., hal.
128).
[29] Nanette Brynes menyatakan bahwa AA menerima dana sebesar $ 25 juta dari Enron dan jasa konsultas sebesar $ 27
juga yang implikasinya adalah AA membantu memperbaiki laporan keuangan dengan
bayaran tambahan lebih dari $ 1 juta. (Bdk. Nanette Byrnes, et al,
“Publik Accounting in Crisis”, Business
Week, January 28, 2002, hal. 46.)
[30] Bdk Michael Pakaluk & Mark Cheffers, op.cit., hal. 276.
[31] Steven MR Covey menunjukkan tiga muatan dalam
integritas, yakni konsistensi, humilitas, dan keberanian. Artinya, orang yang berintegritas menjalankan apa yang dikatakan dan
dipikirkan serta diketahui, namun ia berpihak pada nilai-nilai kebenaran serta
memiliki keberanian untuk menolak segala hal yang bertentangan dengan prinsip
yang dipegangnya (Bdk. Steven M R Covey with Rebecca R Merril, 2008. The Speed of Trust: The One Thing That
Changes Everything, New York: Free Press, hal. 59-61).
[32] Di
Amerika Serikat, prinsip ini merupakan bagian dari kode etik bagi Akuntan
Publik yang bersertifikat yang dituangkan pada Section 54-Artikel III ( Bdk.
Robert F Duska, op.cit., hal. 202).
[34] Tentang
ini Ronald F Duska menulis dengan jelas, “An Accountant should maintain
objektivity and be free of conflict of interest in
discharging proffesional responsibilities. He/She should be independen in fact
and apperance when prividing auditing and other attestation services
( Bdk. Ronald F Duska, op.cit., hal.
85).
[37] Tentang
hal ini Mark Cheffer menulis, “Andersens’ lack of objectivity in expression is
apparent internal memo: The memo states that, “a significance discussion was
hel regarding the related party transactions with LJM including the materially of such amount to
Enrons income statement and the emount retain off ballance sheet” ( Bdk. Mark
Cheffer and Michael Pakaluk, op.cit., hal. 102).
[39] Ibid., hal. 113
[42] Bdk.
Ken McPhail and Diane Walters, (2009). Accounting
& Business Ethics, London and New York: Rougledge Taylor & Francis
Group, hal. 111.
[43] Menurut
Joseph W Weis, mitos bisnis amoral merupakan pandangan yang menyatakan bahwa penempatan etika dalam
bisnis merupakan sebuah mitos. Ada lima yang dijadikan sebagai dasar argument
untuk menyatakan hal ini. Pertama,
etika bersifat personal dan urusan pribadi, bukan urusan publik sehingga tidak
relevan ditempatakan dalam bisnis yang berkaitan dengan lembaga. Kedua, etika dan bisnis tidak bisa
dikaitkan karena keduanya mempunyai aturan dan bidang yang berbeda. Ketiga, etika bersifat relative dalam
arti tidak ada prinsip-prinsip yang bisa dijadikan sebagai standar yang sama.
Situasi dan kondisi yang berbeda membuat tuntutan dan aturan berbeda. Keempat, etika sudah termuat dalam upaya
menjalankan bisnis yang baik, karena itu bisinis yang baik etika yang baik sama
dengan bisnis yang baik. Kelima informasi
dan computer adalah amoral, karena tidak bisa dimintai pertanggungjawaban
darinya, dan bisnis berkecimpung dalam dua sarana ini.(
Bdk. Joseph W Weis, op.cit., hal. 14-28.)
[45] Perhatian
pada tata kelola sesungguhnya sudah ada
sebelum kasus Enron, namun menurut Leonard J Brooks lebih signifikan dan lebih
serius sesudah tragedi Enron. Terkait dengan ini Brook mencoba mengurutkan
perubahan itu secara kronologis sebagai berikut. Pada tahun 1994, ada peninjauan tata
kelola perusahaan dan membuat rekomentasi untuk praktik perusahaan terbaik yang merupakan hasil dari pembicaraan
Toronto Stock Exchange. Pada tahun 1999 hal yang sama terjadi
sebagai kelanjutan sebelumnya dengan mengadakan survei dan analisis prosedur
tata kelola perusahaan-perusahaan. Satu tahun kemudian dihasilkan Kode Etik
tentang prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan prinsip teladan pengelolaan.
Pada bulan November terjadi pengkajian kondisi tata kelola perusahaan di Kanada
dan membuat rekomendasi perubahan yang akan memastikannya sebagai contoh
pengelolaan di Kanada. Pada tahun 2002, diadakan kembali diskusi Toronto Stock Exchange dengan membuat petunjuk-petunjuk baru. Hasil mengejutkan
adalah kesepakatan bahwa CEO dan DVO mengesahkan 8-K, yang berisikan pentingnya
meningkatkan akuntabilitas, integritas dan transparansi dari perusahaan yang
terdaftar di New York Stock Exchange ( Bdk. Leonard J Brooks, op.cit.,
hal. 11).
[46] Tentang
ini Richard
De George mengatakan, “morality is the oil as well as the glue of society and
therefore of business” seperti dikutip K. Bertens, op.cit., hal. 379.
[47]Bdk. Michael Pakaluk., op.cit,
hal. 120.
[48]Bdk. Mark Cheffers & Michael Pakaluk, op.cit., hal. 20
[49] Bdk.
Plato
(2006), Rebublic, translated by Jhon Lleweyln Davies and David James Vaughan, Great Britain: Wordsworth Classics of World Literature, hal.
206,
[50] Bdk. A Sudiardja, SJ,
(2006), Karya Lengkap Driyarkara,
Jakarta & Yogyakarta: Gramedia & Kanisius, hal. 366.
[51] Bdk. Benjamin S.
Bloom, (1956), Taxonomy of Educational
Objectives: The Classification of Educational Goals , New York: David
McKay.
[52] Bdk. Hugh Trendennick
& Harold Tarrant ( 2006). Plato,
Hari-hari Terakhir Socrates, terj. Eleonora Brigita, Jakarta: Elexmedia
Komputindo, hal. 1.
[55] Bdk.
Franz Magnis Suseno (1985), Etika Dasar:
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, hal. 76.
[56] Bdk. J Sudarminta
(2013), Etika Umum: Kajian tentang Beberapa
Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, Yogyakarta: Kanisius, hal. 72.
[58] Bdk. Ronald F Duska, op.cit., hal. 77 – 90.
[59] Bdk. Kasdin Sihotang (2009), Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme, Jakarta: Kanisius,
hal. 189.
[60] Hal ini juga sangat tegas ditekankan
dalam pertemuan IFAC Comitte Educational
Meeting yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 2005. Dalam
pertemuan itu dihasilkan suatu rumusan yang menegaskan pentingnya pendidikan etika
profesi akuntan dengan fokus pada empat hal. Rumusan itu menyangkut empat
tahapan pendidian etika. Rumusan , yakni
Secara jelas hasil pertemuan itu merumuskan bahwa empat tahapan, yakni tahap pengetahuan etika,
emosi, penilaian dan perilaku. Lengkapnya adalah sebagai berikut, Stage
1 Ethics Knowledge. Ethics
education at this foundation stage instils in accountants fundamental knowledge
on matters concerning professional values, ethics and attitudes. Ethics
education at this stage focuses on the intellectual background which is
necessary to ensure an accountant or accounting learner understand the basic
environment which influences decisions, and the fundamental theories and
principles of ethics, virtues, and individual moral development which govern
one’s actions. Ethics knowledge provides the social, ethical and emotional
intelligence for the learner. Stage 2 Ethical Sensitivity.
Stage 2 applies the basic ethical principles introduced in Stage 1 to
the relevant functional areas (e.g. auditing and taxation) of accounting
practice. The purpose of Stage 2 is to sensitise accountants and learners to
the ethical dimensions of accounting practice to ensure they are capable of
recognizing ethical threats as they arise. Stage 3 Ethical Judgement.
Stage 3 is an application stage where individuals learn how to integrate
and apply ethics knowledge and
sensitivity to derive at a reasoned and well informed decision. Stage 3 is
designed to assist learners and accountants in deciding on ethical priorities
and apply a well founded process in making ethical decisions. Stage 4 Ethical behavior. Ethical behaviour means acting on principles, not merely believing in
them. Therefore, professional accountants have a responsibility not only to
abstain
from action that may harm others, but in actively
pursuing the right course of action. Stage 4 is concerned with how to behave
ethically in situational or contextual environments such as the workplace (
Lihat Draft Professional
ethics for accountants: Approaches to the development and maintenance of
professional values, ethics and attitudes in accounting education programs, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar